Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Di permukaan, pasangan saya adalah perempuan yang cantik dan supel. Senyumnya hangat, pembawaannya luwes, dan ia tahu cara menempatkan diri dalam berbagai situasi. Tapi seperti banyak orang yang tampak “baik-baik saja”, ada lapisan yang tidak mudah dilihat. Luka-luka yang tak berbentuk, tapi terasa. Trauma yang tidak selalu muncul sebagai tangis, tapi terkadang menyusup lewat kemarahan kecil, atau jarak yang tiba-tiba hadir di antara kami.
Dalam sebelas tahun hubungannya dengan mantan suami, partner saya itu mengalami banyak hal yang tidak semua orang sanggup ceritakan ulang. Dan sering kali, luka itu tidak perlu diceritakan untuk bisa hidup kembali—cukup satu gestur saya yang keliru, satu kalimat yang tak sengaja menyinggung, atau bahkan satu momen yang mirip dengan masa lalunya, dan semuanya seperti terulang. Bukan salahnya, bukan sepenuhnya salah saya juga. Tetapi itulah hidup bersama seseorang yang membawa masa lalu yang belum selesai: kita belajar bahwa cinta tidak hanya soal berbagi bahagia, tapi juga menerima bahwa sesekali, kita bisa jadi pemantik dari luka yang bukan kita ciptakan.
Perjalanan ini berat. Saya tidak akan memolesnya menjadi kisah romantis yang mulus. Tapi saya belajar satu hal penting: permakluman atas masa lalu seseorang bukanlah kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk memahami manusia secara utuh. Saya tidak ingin mencintai partner saya itu hanya karena senyumnya, caranya bicara, atau bagaimana ia memeluk saya ketika tenang. Saya ingin mencintainya juga ketika ia sedang rapuh, sedang tertutup, bahkan ketika ia tidak bisa menjelaskan kenapa ia menjauh. Karena di balik setiap sikapnya hari ini, ada sejarah yang membentuknya. Dan saya ingin memahami sejarah itu, bukan melawannya.
Tidak semua orang memilih jalan ini. Ada yang lebih nyaman menilai orang lain hanya dari apa yang tampak sekarang. Kita terlalu cepat berkata “toxic” tanpa bertanya dari mana racun itu berasal. Kita terlalu cepat memutuskan seseorang baik atau buruk tanpa duduk sebentar di kisah yang membentuknya. Tapi bagi saya, mencintai seseorang berarti juga membuka ruang untuk masa lalunya. Bahkan ketika masa lalu itu menyakitkan. Bahkan ketika kita bukan penyembuhnya.
Comments
Post a Comment