Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Orang tua keduanya telah tiada. Meninggalkan barang-barang penuh kenangan di rumah kami yang sepi. Ada perasaan berat melihat benda-benda peninggalan, tetapi mau tidak mau beberapa mesti dibuang juga. Bukan karena tidak berarti lagi, tapi karena hidup adalah tarik menarik antara masa lalu dan masa sekarang. Buku-buku, pakaian, dan barang-barang lain milik Papap dan Mamah begitu mengingatkan kami pada mereka, tetapi kami di sini yang masih hidup, memerlukan ruang lebih. Ruang untuk barang-barang kami juga. Bukan artinya membuang benda-benda peninggalan adalah sama dengan membuang kenangan tentang mereka. Justru kami mengenangnya dengan cara melanjutkan hidup. Menjadikan kenangan tentang mereka sebagai nafas yang menghidupi hari-hari kami ke depan.
Karena sesungguhnya, barang-barang bukan hanya benda mati. Mereka menyimpan jejak sentuhan, kebiasaan, bahkan aroma yang menempel diam-diam. Cangkir kopi Papap yang retak di bagian gagangnya tetap terasa seperti miliknya, seolah tangannya masih sempat menyentuhnya pagi tadi. Kain daster Mamah yang sudah pudar warnanya menyimpan bentuk tubuhnya, cara jalannya, bahkan suara langkahnya. Barang-barang itu seperti pintu kecil menuju dunia yang telah berlalu, dan membuangnya bukan sekadar urusan logistik, tapi pergulatan emosional: bagaimana melepaskan tanpa merasa mengkhianati? Tapi hidup tidak berjalan mundur. Kita harus menyusun ulang—menyimpan beberapa, merelakan sebagian, dan terus membawa yang tak tampak: cinta, didikan, dan keberadaan mereka yang tak lagi bisa disentuh, tapi tetap hidup dalam ingatan.
Mungkin itulah yang membedakan manusia dari makhluk lain: kemampuan kita untuk melekatkan makna pada benda. Sebuah kemeja bisa jadi kemeja biasa di mata orang lain, tapi bagi kita, ia bisa menjadi pelindung tubuh terakhir yang pernah dikenakan orang yang kita cintai. Kita menyimpan bukan semata karena butuh, tapi karena merasa ada bagian dari diri kita yang tertinggal di sana. Karena itu pula, membuang bukan hal yang sederhana. Kita tidak sekadar meletakkan sesuatu ke dalam kardus lalu mengantar ke tempat barang bekas—kita sedang menimbang, berdamai, dan menguji seberapa kuat kenangan bisa bertahan tanpa medium fisiknya. Dan kadang-kadang, kita tetap menyisakan satu atau dua benda “tak berguna” hanya karena merasa belum siap untuk benar-benar melepaskan. Kita manusia, dan kita sentimental. Itu bukan kelemahan, tapi justru bukti bahwa kita hidup tak hanya dalam waktu, tapi juga dalam kenangan.
Begitu pula dengan orang-orang dalam hidup kita. Ada kalanya kita harus meng-cut seseorang—entah karena luka, pengkhianatan, atau sekadar perjalanan yang tak lagi searah. Kita membuangnya dari rutinitas, dari kontak ponsel, dari peta sosial kita. Tapi seperti barang peninggalan yang pernah mengisi rumah, mereka tak pernah benar-benar hilang. Selalu ada sesuatu yang tertinggal: kata-kata, gestur, atau momen kecil yang tak sengaja muncul di tengah obrolan atau tawa. Kenangan buruk sekalipun, suatu hari bisa jadi lelucon bersama. Dan yang baik, tetap menjadi harta diam-diam yang kita peluk dalam hati. Jadi mungkin, membuang bukan berarti menghapus. Ia hanya cara kita memberi batas, sembari tetap mengakui: bahwa yang pernah dekat, akan selalu menyisakan ruang dalam diri kita—meski sekecil lipatan kertas yang tak sengaja tertinggal di saku.
Comments
Post a Comment