Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Ada hal yang sering saya pikirkan belakangan ini: mengapa kesalahan yang kita lakukan pada satu orang, justru baru bisa kita perbaiki pada orang yang lain? Mengapa introspeksi tidak langsung menghasilkan perubahan di tempat yang sama, tetapi justru menjelma menjadi versi yang lebih baik… untuk orang berikutnya?
Dalam hidup saya, ini bukan sekadar renungan, tapi kenyataan. Dalam dua pernikahan sebelumnya, saya punya kekurangan—kadang dalam cara mendengar, kadang dalam memberi waktu, kadang dalam menahan ego. Hubungan itu pun tidak berlanjut. Tapi setelah semua itu, barulah saya benar-benar belajar. Barulah saya mulai memahami apa artinya hadir, apa artinya memberi ruang, apa artinya tidak selalu ingin benar. Sayangnya, dua perempuan yang pernah menjadi pasangan hidup saya tidak menikmati versi saya yang ini. Justru partner saya yang sekarang, yang datang belakangan, yang menerima saya setelah semua luka dan pelajaran itu, yang akhirnya mendapat "versi upgrade"-nya saya.
Hidup ternyata kadang seperti itu. Kita belajar dari yang lalu, tapi tak bisa mengulang yang lalu. Kita memperbaiki diri, tapi perbaikannya datang terlambat untuk orang yang mungkin paling membutuhkannya dulu. Dan di situ ada rasa bersalah yang tak selalu bisa ditebus. Seolah ada orang-orang yang menjadi batu loncatan emosional dalam hidup kita. Mereka tidak salah, tidak kurang. Tapi mereka kebetulan datang ketika kita belum siap.
Saya membayangkan hal ini seperti seorang guru yang baru pertama kali mengajar. Tahun-tahun pertama, ia masih kaku, mudah marah, salah menjelaskan. Murid-murid awal menjadi semacam "korban" dari proses belajarnya menjadi pengajar yang baik. Murid-murid berikutnya mungkin akan mengatakan guru itu bijak, sabar, menyenangkan—tanpa tahu bahwa itu lahir dari kegagapan di masa lalu. Dan murid-murid awal? Mereka tidak pernah tahu bahwa kegagalan mengajarnya dulu justru membuat guru itu lebih baik hari ini.
Apakah ini adil? Tentu tidak sepenuhnya. Tapi hidup jarang adil dalam urusan waktu. Kadang kita bertemu orang yang benar di waktu yang salah. Kadang kita menjadi orang yang salah, lalu berubah menjadi benar—tapi untuk orang yang lain. Mungkin itulah ironi yang harus kita terima sebagai bagian dari menjadi manusia: bahwa proses tumbuh tidak selalu sinkron dengan kebutuhan orang lain. Tapi kalaupun ada yang bisa kita lakukan, mungkin itu adalah mengingat mereka yang menjadi “guru diam-diam” dalam perjalanan kita. Orang-orang yang tak sempat menikmati versi terbaik kita, tapi tetap memberi andil besar dalam membentuknya.
Untuk mereka yang pernah berjalan bersama saya dalam hidup yang dulu, saya tahu tulisan ini tidak akan menghapus luka atau mengubah apa pun. Tapi izinkan saya mengucapkan sesuatu yang tak sempat saya sampaikan dengan jernih waktu itu: terima kasih. Terima kasih karena telah bersabar pada versi saya yang belum utuh. Terima kasih karena telah mencintai saya bahkan ketika saya belum tahu bagaimana mencintai dengan benar. Mungkin dalam diam kalian pernah merasa dipakai sebagai pijakan, lalu ditinggalkan. Tapi sungguh, saya tidak pernah melangkah tanpa membawa sebagian dari kalian dalam diri saya hari ini.
Saya tidak bisa mengulang waktu, tidak bisa memperbaiki masa lalu di tempat ia rusak. Tapi saya bisa hidup dengan kesadaran bahwa seseorang pernah mengorbankan kenyamanannya agar saya bisa menjadi manusia yang lebih layak untuk orang lain. Dan untuk itu, saya hanya bisa membalasnya dengan berusaha menjadi orang yang tak lagi menyia-nyiakan cinta, siapapun yang datang membawanya.
Comments
Post a Comment