Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Idealisme


Mungkin saya termasuk orang yang masih melakukan hal yang kurang lebih sama dengan sepuluh sampai lima belas tahun lalu: berfilsafat, bermusik, dan menulis (meski soal bermusik sudah tidak lagi seintens dulu). Apakah boleh bangga dengan hal demikian? Bisa iya, karena artinya saya berhasil mempertahankan apa yang disebut sebagai "idealisme" atau sesuatu yang saya anggap sebagai hal yang ideal sedari dulu; namun bisa juga tidak, karena dari sudut pandang lain, saya terlihat "di situ-situ saja", tidak berkembang, enggan mencoba sesuatu yang baru. Saya sejujurnya tidak peduli dengan sudut pandang manapun itu karena hal yang lebih penting sekarang bukan lagi terlihat keren dengan idealisme tersebut, tetapi apakah yang saya kerjakan ini dapat menghidupi diri sendiri atau tidak (soal kebermanfaatan bagi banyak orang, jujur, saya kian tidak percaya dengan "idealisme" semacam itu). 

Namun saya melihat sekeliling, pada beberapa teman, yang tidak lagi menganggap idealisme sebagai hal yang krusial lagi - idealisme sebagaimana dipahami sebagai "cita-cita ideal dari masa silam". Di antara mereka, ada yang dulunya senang bermain musik eksperimental dan tidak peduli sama sekali apakah orang lain mau dengar atau tidak; ada yang fokus pada kesufian, menolak duniawi dan mempraktikkan kezuhudan; ada yang dulunya pembaca sastra yang hebat, segala buku dilahap; ada juga mereka yang tadinya penekun filsafat, ikut banyak kelas dan selalu bicara filsafat. Sekarang? Banyak di antara mereka sudah tidak berada di wilayah tersebut dan bahkan menganggap kegiatan demikian sudah menjadi asing. Asing dari kehidupannya dan telah tertimbun menjadi kenangan masa silam. Sejumlah teman saya sudah terlalu sibuk mencari uang dan bahkan rela menjadi budak kapital. 

Tentu saja saya oke-oke saja dengan hal tersebut. Tidak juga menganggap apa yang saya lakukan adalah hal yang lebih baik ketimbang mereka. Justru saya "menyalahkan" kondisi keseluruhan, mengapa dunia ini begitu tidak ramah pada idealisme? Mengapa sistem selalu membuat orang kehilangan apa yang menjadi minatnya yang terdalam, sehingga harus tunduk pada sikap yang disebut sebagai "realistis"? Apakah memang segala hal yang menjadi cita-cita kita di masa lampau, memang pada akhirnya hanya akan menjadi kenangan dan hanya segelintir orang saja yang kelak mampu mewujudkannya? Atau sebenarnya tidak ada yang benar-benar hilang, melainkan menjadi suatu apalah yang dinamakan soft skill yang sadar tidak sadar, tetap terpakai dalam menjalani kehidupan "nyata"? Atau jangan-jangan, setiap orang tetap menjalani idealismenya, tetapi bersalin rupa menjadi "keluarga" atau "bertahan hidup"? 

Namun apa yang pernah menjadi idealisme tersebut, rasanya tidak bisa dikatakan lenyap begitu saja meski orang-orang tersebut sudah demikian sibuk ditelan rutinitas. Idealisme yang pernah dikejar di masa lampau, tetap berharga, dan berharganya itu justru bisa jadi karena tidak tercapai! Mengapa demikian? Mungkin, ini hanya mungkin, bahwa idealisme yang telah tercapai, kadang malah begitu bertentangan dengan bayangan kita sebelumnya. Misalnya, saya tidak menyangka bahwa menjadi penulis itu ternyata juga semacam penderitaan karena didesak untuk memiliki inspirasi setiap harinya. Dulu saya kira menjadi penulis itu keren-keren saja: nulis, nongkrong di kafe, menikmati senja, sambil menanti inspirasi. Dalam beberapa hal ada benarnya, tetapi hal buruknya ternyata lebih banyak: dikejar-kejar klien, kadang tidak ada honornya, royalti kecil dan entah dibayar kapan, dan banyak lagi. 

Jadi, apa yang membuat idealisme yang tidak tercapai itu berharga? Karena ya itu, karena tidak tercapai itulah! Ketidaktercapaian akan suatu cita-cita adalah hal yang juga hidup bersama kita, mungkin diturunkan pada anak-anak kita kelak, mungkin diajarkan pada murid-murid kita nanti, atau dihidupi bersama dalam suatu kenangan yang panjang dan mendalam, menciptakan perandai-andaian yang menghantui kita, tapi juga sekaligus menemani.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...