Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Bane


Akibat sibuk menjalankan ibadah nonton tiga puluh film dalam tiga puluh hari bulan Ramadhan, saya dengan konyol melewatkan salah satu film terbaik tahun ini: The Dark Knight Rises yang marak diputar di bulan puasa. Bagian terakhir dari trilogi Batman karya sutradara Christopher Nolan ini baru saya tonton kemarin malam.

Kekeliruan pertama dalam menyaksikan rangkaian film Batman-nya Nolan ini adalah menganggapnya sebagai film hiburan sebagaimana yang sudah disajikan dulu oleh Tim Burton ataupun Joel Schumacher. Batman garapan Nolan adalah Batman yang penuh pergumulan psikologis maupun filosofis. Aksinya yang dahsyat -yang tentu saja sudah ditopang teknologi yang jauh lebih canggih ketimbang pendahulunya-, berlangsung tidak sebanyak dialognya yang sepertinya ingin lebih ditekankan oleh Nolan. Bagi mereka yang hanya berharap menyaksikan Batman beradu jotos secara full-action, tentu saja kehilangan banyak gizi jika tidak memerhatikan konten percakapan.

Ada satu ciri khas yang cukup menarik setidaknya dari dua film Batman terakhir yaitu The Dark Knight dan The Dark Knight Rises, yaitu bagaimana Nolan sanggup membuat penontonnya menyimpan simpati aneh terhadap para tokoh yang sudah secara tradisional merupakan antagonis sempurna seperti Joker dan Bane. Joker, kita tahu, diperankan dengan sempurna oleh almarhum Heath Ledger. Meski tidak semenjulang Ledger, Tom Hardy tidak kalah baiknya memerankan teroris intelek Bane -baik Joker maupun Bane kita sadari membuat posisi penonton kadang bimbang: Apakah betul keduanya jahat, atau malah Batman yang jahat?-

Bane, setelah menyekap Bruce Wayne di penjara bawah tanah yang "filosofis" -di penjara tersebut, para tahanan bisa menyaksikan langit cerah. Hal tersebut justru menyiksa karena seolah ada harapan untuk kabur padahal nyaris mustahil-, kemudian membuat situasi anarkis di Kota Gotham. Seisi kota dibuat tanpa kepemimpinan dan membiarkan rakyat mengontrol nasibnya sendiri-sendiri. Kota Gotham menjadi seperti milik bersama karena tiada lagi legitimasi kekuasaan maka itu yang kuat menjadi pemenang. Salah satu efek menarik dari anarki ciptaan Bane ini -dan sangat dirindukan oleh warga Indonesia- adalah bagaimana orang-orang kaya yang bersalah bisa diadili oleh rakyat dan dieksekusi saat itu juga.

Bane menciptakan khaos, itu jelas. Ia adalah antagonis yang meresahkan, membuat penonton gereget menanti Batman menata kembali Kota Gotham. Namun sadari sejenak bagaimana anarkisme ini ternyata menyenangkan juga, terutama ketika melihat para teroris binaan Bane bisa secara terbuka berperang melawan polisi yang cuma bermodalkan pentungan dan handgun seadanya. Pada situasi ini, polisi sebagai instrumen penegak hukum menjadi tidak lebih dari sekadar rakyat biasa berbaju hitam. Yang menang adalah mereka yang secara akses terhadap sumber daya jauh lebih terbuka -Dalam hal ini, kelompok Bane lebih unggul karena punya senjata-. 

Jika logika ini dibalik, tidakkah sesungguhnya kekuasaan juga hanya sekadar urusan akses terhadap sumberdaya? Tidakkah apa yang dimaksud dengan 'pemerintah', adalah tidak lebih dari sekumpulan orang rakus yang mempunyai sumberdaya lebih dan hanya mau dibagi sedikit dengan sesama? Mereka sesekali berbagi, agar wibawanya sebagai pemegang akses sumberdaya terjaga, maka itu posisi kekuasaan menjadi langgeng. Bane dengan ekstrim mewacanakan suatu perspektif yang berani: Apa jadinya jika segalanya dimulai dari nol. Tidakkah menjadi semacam fitrah manusia untuk mencari akses terhadap sumberdaya, sehingga daya tahan mereka untuk hidup lebih panjang menjadi terjamin?

Lebih jauh lagi, Bane hendak berkata tentang irelevansi pertentangan kapitalisme dan komunisme. Pada dasarnya keduanya berada dalam lubuk fitrah manusia sekaligus. Ketika kamu disejajarkan, kamu ingin menonjol. Ketika kamu menonjol, kamu ingin berpura-pura sejajar, agar terus menonjol!

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...