Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
Ini adalah kali kedua saya didaulat menjadi petugas pembalik halaman partitur alias page turner. Ini kali kedua juga saya merasa harus menuliskannya karena betapa pengalaman ini sedemikian berkesan.
Pengalaman pertama datang setahun lalu tepatnya tanggal 3 Desember 2011. Waktu itu di Surabaya, debut saya tak tanggung-tanggung: Menjadi page turner bagi resital yang melibatkan dua pemain berkelas, yang satu adalah Urs Bruegger, klarinetis asal Swiss, dan Ratnasari Tjiptorahardjo, pianis Indonesia domisili Australia. Ketegangan yang dialami luar biasa, terutama disebabkan itu merupakan pengalaman pertama. Pada akhirnya, kegiatan membulak balik halaman itu berlangsung cukup lancar -Ibu Ratna mencatat saya satu kali terlambat membalik-. Saya mendapat kesimpulan istimewa: Inilah posisi VVIP dalam apresiasi musik klasik. Tidak ada senot pun yang terlewat untuk diapresiasi. Adrenalin khas konser pun mau tak mau ikut ditularkan pemain, sehingga saya terseret untuk tegang.
Kesempatan kedua kali baru saja datang tadi malam. Pianis Mutia Dharma meminta saya untuk membukakan tiga dari empat karya yang dibawakan malam itu. Resital Sarah Tunggal (flute) dan Arya Pugala Kitti (biola) tersebut membawakan komposisi dari Bach, Schubert, Dvorak, dan Faure. Dengan penuh rasa syukur, sekali lagi saya mendapatkan kesempatan untuk duduk di samping pianis dan merasakan aura konser secara utuh penuh. Liukan sahut menyahut ala Bach, sentimentalitas Schubert, serta keluasan Dvorak -bagai ia sedang memandangi tanah baru bernama Amerika yang penuh harapan- sanggup dinikmati tanpa kehilangan satu not pun. Sayang sekali saya tidak kebagian menikmati Faure dari tempat istimewa tersebut, padahal sungguh saya ingin mengapresiasi geliat scale janggal yang penuh kejutan dari sang impresionis. Rasa ngantuk yang sebelum konser sempat melanda, hilang entah kemana -berubah menjadi terjaga sepenuhnya-.Terdengar jelas bagaimana sang pianis sesekali berdecak kesal, bernapas tersengal, hingga melepaskan napas penuh kemenangan. Saya belum kehilangan nikmat itu, sebagaimana setahun lalu saya mendapati karya-karya Poulenc, Verdi dan Schumann bisa dikonsumsi tanpa sedikitpun gizinya terbuang.
| Foto diam-diam dari posisi page turner di samping Mutia Dharma. |
Posisi page turner barangkali sedang dalam ancaman disebabkan keberadaan tablet yang sejumlah pianis sudah mulai menggunakannya. Partitur ditampilkan dalam tablet sehingga untuk membaliknya tinggal disentuh saja. Saya bisa paham jika lama-lama page turner tak digunakan. Selain digantikan teknologi, keberadaannya juga kerap mengganggu pemandangan dan tetap menyisakan kemungkinan human error yang fatal. Tapi sebelum kita ucapkan selamat tinggal pada posisi page turner ini dalam sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, saya akan sekali lagi bertestimoni: Inilah posisi terbaik dalam apresiasi musik klasik. Kalian yang sanggup membaca notasi secara cepat, seyogianya pernah mencoba duduk di sana. Sebelum istilah page turner tinggal sejarah.
Comments
Post a Comment