Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Musik Latar di Kafe: Gangguan Menyenangkan dan Pemecah Keheningan

(artikel diturunkan dari Pop Hari Ini


Sebagai orang yang mencari nafkah dari menulis, faktor suasana merupakan hal yang krusial dalam membangun mood agar bisa menuangkan kata-kata ke dalam tulisan dengan lancar. Atas dasar itu, saya sering mencari kafe yang nyaman dengan pertimbangan tidak hanya makanan dan kopinya yang enak ataupun suasananya yang tenang, melainkan juga musik apa yang biasa diputar. Musik ini, bagi saya, sangat mempengaruhi mood dan konsentrasi. 

Kafe yang memutar musik populer seperti misalnya Tulus atau Adhitia Sofyan tentu bagus dan membuat suasana menjadi hidup. Namun hati-hati dengan popularitas sebuah lagu, yang bisa jadi malah menghanyutkan kita untuk ikut bernyanyi, alih-alih berkonsentrasi memeras gagasan. Menulis melibatkan proses berpikir dan proses berpikir tidak jarang dilakukan dengan cara “berdialog dengan diri sendiri”. Bagaimana mungkin bisa berdialog dengan lancar jika ada “gangguan menyenangkan” berupa nyanyian misalnya: “Ku percaya selalu ada, sesuatu di Yogya..”?

Bagaimana dengan musik instrumental? Bagi saya pribadi, musik dengan vokal (manusia) memang lebih mendistraksi ketimbang melodi yang muncul dari instrumen. Vokal cenderung “mendesak” untuk diperhatikan, sementara suara melodi yang timbul dari biola, saksofon, flute, dan lainnya, relatif bisa “diabaikan” jika kita hendak sungguh-sungguh fokus pada tulisan. Hanya saja, kembali ke persoalan tadi, jika musik instrumental tersebut mengambil materi melodinya dari musik populer, maka kemungkinan proses menulis menjadi terdistraksi juga masih besar. Misalnya, di sebuah kafe diputar musik instrumental berupa saksofon yang memainkan lagu Tetap dalam Jiwa-nya Isyana, bisa jadi saya turut hanyut ke dalam melodinya dengan ikut menyanyikannya. Meski hanya terjadi di dalam hati atau dalam kepala, tetap saja, sadar tidak sadar, hal tersebut telah menjadi “gangguan menyenangkan” yang menghambat saya dalam menulis.  

The Kajitsu Playlist 

Persoalan musik yang diputar di kafe ini memang bisa menjadi sesuatu yang serius. Ryuichi Sakamoto, musisi dan komposer asal Jepang, pernah sangat tidak nyaman dengan musik yang diputar di sebuah restoran di New York, sampai-sampai harus membuatkannya playlist. Menurut Sakamoto, persoalan musik yang diputar di restoran tidak bisa diserahkan begitu saja pada algoritma (yang memutar musik secara acak) melainkan harus diselesaikan oleh orang yang benar-benar mengerti musik. Musik yang diputar, lanjut Sakamoto, harus mempertimbangkan konteks dan sejarah yang berhubungan dengan tema restoran serta aura apa yang ingin ditimbulkannya. 

Kita bisa menemukan playlist yang disusun oleh Sakamoto itu dalam The Kajitsu Playlist di Spotify. Dari musik-musik yang disusun oleh Sakamoto tersebut, memang ada nama-nama populer di dunia jazz seperti Pat Metheny, Wayne Shorter, Bill Evans atau Thelonious Monk, tetapi musik yang dihadirkan, sejauh yang saya tahu, tidak ada satupun yang sangat populer hingga cukup menarik perhatian untuk turut bernyanyi. Kebanyakan lagu yang ada di dalam playlist tersebut mempunyai melodi yang sederhana dengan ketukan konstan di tempo sedang. Kalaupun ada musik latin seperti Valsa de Uma Cidade, Sakamoto sudah memilih yang sangat “bersahaja” dan jauh dari nuansa ramai. 

Berdasarkan pengalaman pribadi dan juga playlist yang disusun oleh Sakamoto, memang baiknya musik yang diputar itu, -- jika sebuah kafe menginginkan tempatnya lebih diisi oleh orang yang berkontemplasi ataupun ngobrol-ngobrol intim dengan jumlah orang relatif sedikit (bukan rame-rame hingga tertawa terbahak-bahak) -- sebaiknya bukan musik yang “terkenal” dan berupaya “mencuri perhatian”. Ia harus berada pada lapisan kesekian dari kesadaran dan pada titik tertentu, lebih bersifat dekoratif: kalau ada, kita tidak akan menyadarinya; kalau tidak ada, baru kita menyadari ada yang hilang.  

Audio Branding

Dimas Ario, kurator musik, ternyata pernah diminta oleh sejumlah hotel untuk menyusun playlist yang diputar di lobi ataupun di restorannya. Saya tertarik dengan pengalamannya tersebut dan memutuskan untuk ngobrol-ngobrol via telepon. Menurut Dimas, “Memang agak sayang kalau restoran atau kafe hanya mempertimbangkan visual branding, tetapi luput untuk mempertimbangkan audio branding. Padahal, musik ini penting sekali bagi kenyamanan.” Jadinya, urusan musik, lanjut Dimas, seringkali dianggap sepele dan diserahkan pada selera pegawai kafe atau restoran. Tentu bukan artinya selera pegawai kafe atau restoran ini buruk. Namun perlu diingat, bahwa selera pribadi belum tentu sejalan dengan brand perusahaan. Padahal, jika makanan di kafe diserahkan pada ahli kuliner, interiornya dipercayakan pada desainer interior, mengapa perkara musik tidak dilimpahkan juga pada kurator musik? 

Dimas bahkan menekankan bahwa pemilihan musik ini juga mesti mempertimbangkan waktu dan mood. Misalnya, suasana pagi, siang, dan malam, tentu saja perlu dibedakan. Belum lagi urusan volume. “Banyak kafe memutar musik dengan terlalu keras sehingga orang harus mengobrol hingga berteriak,” kata Dimas, yang mengaku cukup sering meminta pegawai di kafe untuk mengecilkan volume musik. Intinya, selain mesti sesuai brand, musik juga harus ditempatkan lebih sebagai latar belakang atau background.

Musik Populer juga Penting 

Kondisi pemutaran musik yang disebutkan di atas memang ideal bagi mereka yang datang ke kafe untuk bekerja. Namun ada juga tempat yang kita datangi, khusus untuk bersantai melepas penat dan tidak ingin membahas apapun yang berhubungan dengan pekerjaan. Misalnya, saat kita datang ke pub atau bar untuk nongkrong (tidak membawa laptop tentunya), kita mungkin akan lebih terhibur oleh musik-musik populer. Bagian refrain bisa jadi malah menjadi bagian terpenting untuk kita menyalurkan segala keluh kesah.

Selain itu, musik populer juga bisa mengatasi kecanggungan. Misalnya, saat beberapa orang baru pertama kali berjumpa, musik populer bisa memecah keheningan. Mereka bisa saja membahas lagu yang sedang diputar atau ikut bersenandung sambil memikirkan topik obrolan berikutnya – untuk menghindari “mati gaya” -. Ibaratnya, Tulus ataupun Adhitia Sofyan tidak lagi menjadi “gangguan menyenangkan”, tetapi justru “terlibat dalam percakapan”. 


Kelihatannya bisa kita sepakati bahwa nongkrong di kafe, pub, bar atau restoran bukanlah perkara mutu makanan atau minumannya saja. Pada dasarnya, kita membayar untuk suasana yang berbeda, yang tidak sama dengan di rumah atau di kantor, sebagai usaha untuk mencari penyegaran di tengah kondisi psikis yang mengalami kejenuhan. Itu sebabnya, suasana yang dibangun di tempat-tempat publik tersebut mestilah “tidak biasa”. Saat kita berada di restoran Jepang, kita ingin suasana yang “benar-benar Jepang” dengan musik yang muncul dari koto atau shamisen; saat minum kopi di kafe dengan konsep alam terbuka, kita mungkin tidak mau mendengarkan musik yang mengingatkan pada kehidupan urban; atau ketika nongkrong di pub, kita ingin musik yang mewakili keresahan dan bisa membuat kita bernyanyi hingga berteriak. Harus diakui bahwa musik, bukan visual, adalah elemen yang “dalam dan langsung”, yang mampu membawa kita berkelana ke ruang-ruang eksterior, meski hanya sejenak.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...