Berita wafatnya Dwi Cahya Yuniman, yang akrab kami panggil Mas Niman, pada Senin sore, 15 September 2025, datang seperti petir di siang bolong. Begitu mendadak, begitu tak terduga. Pagi harinya ia masih sempat menuliskan ucapan selamat ulang tahun kepada seorang sahabat di grup, seakan memberi tanda kecil bahwa ia tetap hadir, sebelum akhirnya berpamitan untuk selamanya.
Bagi banyak orang, Mas Niman bukan sekadar seorang pecinta musik. Ia adalah pusat gravitasi, sosok yang dengan caranya yang sederhana tapi penuh semangat berhasil mengikat orang-orang dalam lingkaran jazz yang hangat. Saya sendiri pertama kali mengenalnya lebih dari dua dekade lalu, di Common Room. Saat itu, Klab Jazz, komunitas yang didirikannya, tengah menyiapkan konser JazzAid: Jazz untuk Korban Tsunami. Dalam kesempatan itu, saya dan beberapa kawan diperkenalkan pada sebuah nama baru: KlabKlassik.
Kami tampil dengan gitar klasik berempat. Formatnya agak janggal. Bukan ansambel, melainkan solo bergantian. Namun justru dari momen itu lahir satu sejarah kecil: lahirnya KlabKlassik, sebuah komunitas yang kemudian bertahan belasan tahun lamanya. Sejak hari itu, dalam hati kami selalu terpatri satu hal: Mas Niman-lah yang melahirkan KlabKlassik.
Setelah pertemuan pertama itu, jejak kami semakin sering bersinggungan. Saya kerap terlibat dalam berbagai kegiatan Klab Jazz, kadang sebagai panitia, kadang pula sebagai pengisi acara. Tahun 2016 menjadi titik penting: Mas Niman memberi saya kesempatan tampil untuk pertama kalinya dalam format pemusik jazz dengan nama Syarif and His Lovely Friends. Sejak saat itu, hampir tiap dua hingga tiga bulan, ia selalu mengajak saya naik ke panggung. Saya tahu kemampuan saya terbatas, tapi Mas Niman selalu menyalakan api percaya diri: “Pede saja, musik itu untuk dinikmati.” Dari ucapannya itu, saya belajar bahwa musik bukanlah soal kesempurnaan teknis, melainkan soal keberanian membagikan rasa.
Perjalanan kreatif Mas Niman juga menembus batas antara musik dan sastra. Sekitar tahun 2018 atau 2019, ia menggagas Jazz Poet Society, sebuah inisiatif yang menyisipkan puisi di tengah gelaran jazz. Dari situ, setiap konser Klab Jazz tidak lagi sekadar peristiwa musikal, tapi juga perjumpaan lintas bahasa, lintas rasa: antara nada dan kata. Kehadirannya membuat suasana lebih hidup, lebih reflektif, dan lebih puitis.
Namun, lebih dari semua itu, Mas Niman adalah pecinta jazz sejati. Ia tidak datang dengan analisis rumit atau teori panjang, ia hadir dengan hati. Ia tahu mana yang enak, mana yang asyik, mana yang menggugah, dan ia menikmatinya tanpa pretensi. Ia bukan hanya penikmat, tapi juga seorang pencium bakat. Dari panggung-panggung Klab Jazz yang ia kelola dengan penuh cinta, muncul generasi demi generasi musisi muda. Banyak dari mereka yang kemudian menjulang tinggi, menemukan panggungnya sendiri, berkelana jauh, tapi tetap membawa jejak awal dari sebuah komunitas bernama Klab Jazz, jejak yang tak lepas dari sentuhan tangan Mas Niman.
Kini, ketika ia telah berpulang, kami mengenangnya bukan dengan air mata semata, tapi juga dengan nada-nada yang pernah ia hidupkan. Ia mengajarkan bahwa musik adalah ruang bersama, tempat siapa pun boleh hadir, berpartisipasi, dan merasa berarti.
Selamat jalan, Mas Niman. Tiupan Miles Davis semoga mengiringi langkahmu menuju surga. Jazz yang kau cintai akan terus bergema, bersama kenanganmu, dalam hati kami.
Comments
Post a Comment