Peringatan: ulasan ini mengandung spoiler.
Netflix tampaknya terus menegaskan dominasinya dalam genre true crime documentary lewat film Unknown Number: The High School Catfish (2025), arahan Skye Borgman, sutradara yang sebelumnya juga menggarap Girl in the Picture dan Abducted in Plain Sight. Namun kali ini, kisah yang diangkat terasa lebih dekat dan mengusik: bagaimana ancaman paling berbahaya bisa muncul bukan dari dunia maya yang asing, melainkan dari seseorang di dalam rumah sendiri.
Film ini mengikuti kisah nyata Lauryn Licari, seorang remaja Amerika, dan pacarnya, Owen McKenny, yang mulai menerima pesan teks bernada ancaman dan pelecehan dari nomor tak dikenal sejak Oktober 2020. Setelah sempat berhenti, pesan itu kembali datang pada September 2021 dan berlangsung selama lebih dari 15 bulan. Isi pesannya penuh dengan hinaan, ancaman, bahkan komentar seksual terhadap Owen. Keluarga dan pihak sekolah panik; penyelidikan melibatkan kepolisian setempat hingga FBI. Namun plot twist-nya mengguncang: pelaku ternyata adalah Kendra Licari, ibu kandung Lauryn sendiri.
Borgman menampilkan Kendra bukan sebagai monster instan, tapi sebagai figur yang kompleks—seorang ibu yang tampaknya mencintai anaknya, namun menyalurkan rasa sayangnya lewat bentuk pengendalian ekstrem. Dari sudut pandang psikoanalisis, perilaku Kendra mencerminkan kecenderungan Munchausen by Proxy, meski dalam bentuk yang lebih digital dan simbolik. Ia tidak menyakiti Lauryn secara fisik, melainkan menciptakan situasi teror agar dirinya tetap menjadi pusat perhatian dan simpati. Melalui pesan anonim, Kendra mengatur narasi penderitaan putrinya, lalu tampil sebagai sosok pelindung. Dengan kata lain, ia menciptakan luka sekaligus menawarkan dirinya sebagai obat, sebuah siklus narsistik yang membuatnya merasa “dibutuhkan”.
Dalam kacamata Freud, tindakan Kendra bisa dibaca sebagai manifestasi dari unconscious desire for control, semacam dorongan tak sadar untuk menjadi figur utama dalam kehidupan anaknya yang mulai dewasa. Ketika Lauryn memiliki pacar, muncul ancaman kehilangan peran dan kedekatan emosional. Alih-alih beradaptasi, Kendra “menulis ulang” kenyataan lewat pesan-pesan penuh teror, seolah memaksa dunia menatap pada dirinya lagi.
Film ini tak hanya bicara tentang kejahatan siber, tapi juga tentang bagaimana era digital memperluas ruang bagi patologi psikis untuk mengekspresikan diri. Di tangan Borgman, layar ponsel menjadi medium psikoanalisis baru, tempat di mana kecemasan, obsesi, dan rasa kehilangan menemukan bentuk baru dalam pesan teks.
Unknown Number menegaskan bahwa ancaman terbesar kadang datang bukan dari luar, tapi dari cinta yang salah arah. Borgman tak berusaha menjustifikasi Kendra, namun juga tak membuatnya hitam putih. Film ini justru memancing refleksi lebih dalam tentang bagaimana batas antara kasih sayang dan obsesi bisa mengabur, terutama dalam konteks keluarga modern yang terhubung 24 jam melalui teknologi.
Bagi penonton yang gemar kisah kriminal dengan lapisan psikologis, film ini bukan hanya dokumenter tentang catfishing -melainkan potret sunyi tentang kebutuhan manusia untuk tetap relevan dalam kehidupan orang yang ia cintai, meski dengan cara yang paling kelam.
Comments
Post a Comment