Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

??🙏


Dalam sebuah forum yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, 4 Desember lalu, Studio Pancaroba, kolektif seni aktivis yang didirikan tahun 2019 dan mendefinisikan dirinya sebagai sekumpulan orang yang terdiri dari "direktur seni yang egois, copywriter mabuk, desainer biasa-biasa saja, pembom grafiti, fotografer sembrono, videografer tanpa sensor, dan aktivis penuh waktu", menunjukkan salah satu karyanya yang dibuat 5 Januari 2023. Karya itu, boleh kita menyebutnya sebagai karya, "hanya"-lah semacam modifikasi atas logo .bdg dengan slogan "bandung emerging creative city" yang ditambahkan tanda baca dan emot "??🙏". 

Kegiatan semacam itu mungkin lebih mudah untuk dilabeli sebagai aksi vandalis ketimbang kegiatan berkarya seni. Kalaupun berkarya seni, barangkali kita bisa sebut saja sebagai kegiatan berkarya seni yang receh dan main-main. Karena bukankah apa yang kita sepakati sebagai karya seni adalah objek yang mampu menggugah perasaan keindahan dalam diri para apresiatornya? Bukankah karya seni itu umumnya adalah suatu hal yang dipajang di galeri dan diperlakukan seperti benda suci? 

Kita bisa mencari-cari pengertian lain dari seni/ estetika yang tidak perlu megah dan eksklusif. Seni dan estetika memang perlu dibedakan, tetapi dalam tulisan ini akan digunakan secara bergantian untuk maksud yang kurang lebih sama. Mari kita pinjam tipis-tipis pengertian estetika menurut Jacques Rancière yang menyatakan bahwa estetika bukan perkara bagaimana sesuatu itu dibuat (mode of doing) melainkan perkara bagaimana sesuatu itu ditampilkan/ dihadirkan (mode of being). Mode of being yang dimaksud ini mengarah pada penginderaan. Sesuatu disebut sebagai estetik jika kehadirannya diinderai dengan cara yang berbeda, yang sedemikian rupa agar menciptakan kesan permainan. 

Poin Rancière ini menarik karena artinya apapun bisa berpotensi jadi seni. Jika kita kembalikan pada "karya" Studio Pancaroba di atas, maka logo .bdg beserta slogannya bisa jadi awalnya merupakan karya seni, lalu tidak lagi karena fungsinya yang telah melebur dengan keseharian (menjadi dekorasi kota, misalnya). Studio Pancaroba hanya membubuhkan sedikit tanda baca dan emot, supaya publik kemudian melihat kembali logo dan slogan tersebut. Tidak hanya sekadar melihatnya, tapi melihat dengan cara yang lain. Kesan permainan itu juga muncul dalam karya (sekarang tidak perlu diberi tanda kutip lagi) Studio Pancaroba karena bisa jadi membuat pelihatnya bertanya-tanya: iyakah ini karya seni? Atau vandalisme biasa? Tapi yang penting lucu kan? Tapi emang lucu ya? Momen semacam inilah, bagi Rancière yang meminjam pengertian Schiller, momen bermain-main dengan objek. 

Menariknya, Studio Pancaroba, dalam forum di Dewan Kesenian Jakarta tanggal 4 Desember tersebut, mengatakan bahwa aksinya tidak dilakukan dalam rangka apalah yang disebut sebagai "penyadaran". Tidak ada suatu maksud untuk menggurui, membuat publik menjadi berobah sesuai dengan keinginan sang seniman. Hal ini kian meneguhkan kedekatan konsep Studio Pancaroba dengan gagasan Rancière yang memang mengkritik "seni-seni kritis" yang selalu berangkat dari posisi seniman sebagai "si paling sadar" yang bertugas menyadarkan publik (yang belum sadar). Rancière lebih cocok menunjuk tugas seniman adalah mengganggu "distribusi penginderaan", membuat pelihat tidak lagi tunduk pada rezim sensori yang mainstream

Dengan aksi Studio Pancaroba yang tidak perlu keterampilan mahatinggi tersebut, cukuplah kiranya publik memikirkan ulang logo dan slogan yang telah lama melekat pada Kota Bandung terutama di era Ridwan Kamil tersebut. Terserah publik mau memikirkan hal seperti apa, mulai dari kenyataan bahwa pemkot Kota Bandung rajin melakukan penggusuran demi gagasan estetiknya, sampai mungkin hanya tertawa kecil, Studio Pancaroba rasa-rasanya tidak punya kepentingan lagi di sana. Tugasnya sudah selesai hingga kita melihat logo dan slogan itu dengan cara yang lain, setelah itu mereka lari lagi (dari kejaran satpol PP) untuk mengganggu rezim sensori yang lain.


Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...