Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Skena yang Kebetulan



Seorang filsuf sering ditampilkan sebagai penyendiri. Sokrates jalan-jalan sendirian di agora. Ia memang kerap menemukan teman bicara seperti Ion atau Euthypro, tetapi lawan bicaranya ini pada akhirnya menjadi "sarana eksperimen" Sokrates dalam mengeluarkan apa yang disebut sebagai "kebenaran dari dalam". Katanya Sokrates mempraktikkan gaya ironi atau pura-pura bodoh atau pura-pura tidak tahu saat bertanya-tanya pada rekan bicara. Namun benarkah demikian? Coba teman-teman baca dialog Sokrates manapun. Dia tidak sepenuhnya terlihat pura-pura bodoh. Bahkan dalam banyak kesempatan, Sokrates menggiring opini lawan bicaranya dengan cara yang agak menyebalkan! 

Immanuel Kant jelas penyendiri. Kemana-mana ia diceritakan sendirian. Begitupun filsuf lainnya seperti Diogenes, Nietzsche, Schopenhauer (yang cuma ditemani anjingnya, Atman), rata-rata hanya diceritakan sedikit saja bersentuhan dengan masyarakat. Seolah-olah mereka ini berpikir seorang diri melampaui lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitarnya hanyalah semacam latar belakang bagi keluhuran ide sang pemikir. Pada intinya, sejarah para pemikir diperkenalkan pada kita seolah-olah sebagai individu yang tampil mengemuka sendirian, tanpa penting kehidupan sekitarnya atau kita pandang seolah-olah sebagai perantara saja. 

Namun apa benar demikian? Apa benar para filsuf ini adalah individu yang begitu hebatnya sampai memancar mengalahkan zaman, atau mereka adalah produk dari sebuah "skena yang kebetulan"? Dulu saya berpikir yang pertama, tetapi sekarang agaknya lebih mempertimbangkan yang kedua. Apa maksud dari "skena yang kebetulan" ini? Ya mungkin Sokrates menarik, tetapi suatu keuntungan jika menariknya Sokrates itu membuat Platon berminat untuk mencatat dialog-dialognya atau membuat Aristophanes menjadikannya sebagai komedi. Dengan demikian, menariknya Sokrates tidak hanya sekadar menarik, melainkan juga menjadi abadi karena dicatat oleh orang-orang dalam skenanya. 

Platon sendiri punya skena bernama the Academy, tempat Aristoteles belajar di sana dua dekade sebelum mendirikan skenanya sendiri bernama the Lyceum. Banyak orang bergabung dalam skena ini, tetapi mengapa dua nama itu yang lebih mencuat? Mereka pendiri, tentu saja, tetapi pastilah ada mekanisme di dalam skena itu sendiri yang membuat nama-nama pegiat lainnya tidak bisa terlalu mentereng. Atau sekurang-kurangnya, karya para petinggi ini dibahas secara wajib, diamalkan setiap hari, pokoknya dijadikan pedoman hidup yang amat penting. Jika benar seperti itu, justru kian jelas bahwa keterkenalan para filsuf individual itu hanya mungkin terjadi karena peran skena. 

Belum lagi Marx dan Engels yang di masa mudanya rajin nongkrong di komunitas Hegelian Muda bareng orang-orang seperti Stirner, Bauer, Strauss, dan Feuerbach. Demikian halnya dengan skena Prancis mulai dari geng revolusioner seperti Diderot, Rousseau, Voltaire, Montesquie, dan Buffon yang kongkow di salon; hingga geng eksistensialis macam Sartre, de Beauvoir dan Camus yang nongkrong di Café de Flore. 

Dalam hal ini, skena berperan menguatkan jejaring antar pemikir sekaligus "memutuskan" mana pemikir yang bisa diangkat dan mana yang tidak perlu-perlu amat untuk diangkat. Keputusan-keputusan itu tentu saja tidak bersifat formal atau disadari, melainkan bisa saja berlangsung secara organik dan diseleksi secara historis lewat aktivitas-aktivitas harian atau bahkan satu dua momentum besar. Pada pokoknya, pemikir manapun pastilah mendapat keuntungan pergaulan yang membuat gagasannya bisa lestari. 

Bahkan Diogenes yang paling menggelandang sekalipun akhirnya namanya bisa abadi karena salah satunya persentuhan dengan Alexander Agung (dan pencatatan hidupnya oleh Diogenes Laërtius).

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...