Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Tentang Penyuntingan



Sejak beberapa bulan terakhir, saya mendapatkan pekerjaan untuk mengedit naskah teman kuliah yang mengangkat tema tentang mental health. Ini bukan pekerjaan menyunting saya yang pertama, tetapi pekerjaan ini cukup berkesan karena saya merasa benar-benar menjalankan tugas sebagai editor. Maksudnya, saya tidak hanya melakukan editing secara teknis, melainkan juga bisa menjadi rekan diskusi bagi gagasan di dalamnya. Bagaimanapun, penyunting adalah "pembaca pertama". Dengan demikian, penyunting harus mampu memposisikan diri sebagai penulis (untuk mencoba memahami gagasan keseluruhannya) dan memposisikan diri sebagai pembaca (yang ingin "dimanja" dengan keterbacaan yang enak dan alur yang mudah dipahami). 

Dalam beberapa bagian, saya bahkan bisa mengungkapkan keberatan terhadap gagasan-gagasan di dalamnya, sehingga kami kemudian berdiskusi untuk mencari jalan keluar. Dalam hal ini, saya berusaha untuk berpendapat tidak atas dasar ideologi pribadi, tetapi kemungkinan persepsi teks ini di mata pembaca kelak. Hal-hal yang bertentangan dengan ideologi pribadi saya coba kemukakan tetapi tidak perlu sampai "dipaksakan" untuk dituruti. Kadang saya mengedit sambil dongkol karena hal-hal tertentu dalam teks yang cukup bertentangan dengan prinsip saya. Namun tidak apa-apa, sekalian belajar menerima perbedaan. Tidak semua hal mesti sejalan dengan apa yang saya pikirkan. 

Bapak mengatakan, menulis bukanlah mengedit. Menulis adalah tentang menuangkan gagasan lewat tulisan, tetapi bukan artinya harus sempurna sampai ke urusan titik koma. Dalam konteks tertentu, ada tugas editor yang merapikan semuanya hingga gagasan via teks tersebut bisa layak untuk sampai ke tangan pembaca. Tentu saja bukan artinya semua yang memiliki gagasan bisa menjadi penulis, tetapi sekurang-kurangnya, seseorang sudah bisa disebut penulis jika mampu menuliskan gagasannya dengan pesan yang clear dan alur yang jelas, tanpa mesti memikirkan kaidah penulisan secara ketat seperti EYD, PUEBI, atau kata-katanya ada di KBBI atau tidak. Penulis yang bisa memerhatikan hal-hal itu semua tentu baik, tetapi sekali lagi, tidak wajib seratus persen. 

Pendapat bapak ada benarnya, tetapi agak sulit dalam konteks misalnya penulisan ilmiah yang memposisikan penulis seolah-olah sebagai sentral dalam kekaryaan. Karya tulis ilmiah adalah produk si penulis/ si peneliti seorang diri (terkadang bersama penulis-penulis lain yang diposisikan "setara") dan tidak boleh terlihat sebagai kerja kolektif (informan tidak dihitung). Padahal, masih ide bapak, karya tulis ilmiah juga bisa melibatkan kerja kolektif: ada editor, penata letak, penyusun daftar isi, pembuat sistem mendeley, dan sebagainya. Semuanya itu, meski pada kenyataannya bisa jadi dibayar profesional, tetapi setidaknya diaku sebagai bagian dari proses pengerjaan naskah. Iya, nama-nama mereka dituliskan, seperti kredit dalam film. 

Gagasan ini boleh dicoba, karena selama ini penulis karya ilmiah seringkali diposisikan sebagai "manusia super" yang seolah mengerjakan segala. Padahal bisa jadi mereka hanya punya kemampuan analisis yang tajam, sementara kemampuan menulisnya amatlah payah. Alhasil, urusan pengerjaan karya tulis ilmiah seringkali disibukkan oleh urusan teknis. Pembimbing capek melihat EYD yang berantakan, hubungan antar kalimat yang tidak nyambung, atau deduksi - induksi yang tidak jelas. Disinilah editor mestinya bertugas, supaya penulis karya ilmiah cukup fokus pada hasil penelitian yang bagus dan berdampak. Editor di sini bukan sekadar editor bayaran yang dipekerjakan seolah-olah "di luar" sistem, tetapi masuk ke dalam sistem, diakui sebagai penyunting karya ilmiah. 

Jika penyunting semacam ini diterima sebagai bagian dari kerja-kerja penulisan karya ilmiah, mungkin peneliti kita tidak usah lagi bekerja keras menjadi penulis yang baik. Atau sebaliknya, mereka hanya tinggal mengakui bahwa mereka memang penulis yang buruk. Eh.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...