Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Ini malam, malam panjang, sayang. Malam yang sama-sama dua belas jam, tapi hati ini tidur di bawah naungannya selamanya. Ini kisah kenisah tentang dua orang yang sedang tidak punya uang, tapi berada di restoran mewah untuk yang satu meminang satu lagi. Ini kisah kenisah tentang dua orang yang tidak punya apa-apa untuk kemudian akhirnya bergerak dari kursinya untuk meraih satu dua asa yang tergantung di hadapan. Ini kisah kenisah tentang lingkaran kecil di jari yang menandai cinta abadi. Cinta yang abadi bukan cinta yang sempurna, tapi ia hadir selama kehidupan masih terbentang. Ia berdiri ketika yang lain mati. Ketika jasad juga mati.
Ini malam ketika kami makan pizza gratis, minum teh gratis, dan kuingat kau mengeluh badanmu yang sakit. Tapi ini mahal, sayang, karena tidak ada cinta yang gratis. Cinta adalah bagaimana kau sanggup tawar menawar dengan tuhanmu. Karena ia maha pembalik hati manusia.
Hari ini hatimu sedang berbalik, menuju hal yang lebih baik. Aku disini mengingatkan tentang malam itu, ketika hatimu sedang juga baik. Mengingatkan tentang betapa dua insan pernah meminjam malam, langit, gemintang dan desir kolam, dari tuhan. Untuk sebentar, untuk sementara, untuk dikembalikan jua. Ya Tuhan, ijinkan kami meminjam itu lagi. Sewanya berapa, katakan saja, karena aku tak punya uang. Sudikah Tuan dibayar dengan hati yang busuk dan berdosa?
Comments
Post a Comment