Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Yang Tuna Nada, Yang Berjaya

(artikel diturunkan dari Pop Hari Ini

 


Media sosial adalah tempat orang bisa mengunggah konten apapun untuk dikonsumsi publik. Meski demikian, konten-konten tertentu, yang mengganggu kenyamanan pandangan, sadis, bikin eneg dan risih, tentu bisa dilaporkan ramai-ramai untuk kemudian dihapus oleh admin media sosial. Nah, tapi kenapa yang kerap dilaporkan dan diturunkan itu hanya hal-hal yang mengganggu pandangan mata? Bagaimana dengan konten yang mengganggu pendengaran alias bikin telinga tidak nyaman? Rasanya jarang orang melakukan report ramai-ramai hanya karena mereka tidak suka pada aspek audio dari suatu konten. Alasannya mungkin sederhana: Kalau tidak suka suaranya, tinggal di-skip saja kontennya, atau di-mute saja audionya. Menariknya, alasan yang sama belum tentu bisa diterapkan pada konten visual (hal yang mengganggu mata kadangkala tidak hanya di-skip, tapi juga sekaligus di-report). 

Salah satu conton konten yang mengganggu pendengaran adalah orang menyanyi tapi dia tuna nada (tone-deaf). Tuna nada berbeda dengan fals. Sebelum masuk pada urusan tuna nada, kita bahas sedikit tentang fals terlebih dahulu. Orang yang nyanyi, atau main musiknya fals, atau secara bahasa diartikan sebagai “menyimpang”, artinya ia tidak bisa mencapai pitch tertentu dalam suatu nada. Jika diibaratkan suatu nada ada pada garis lurus, cara nyanyi / main musik orang tersebut tidak sesuai pada garis lurus itu, entah lebih tinggi atau lebih rendah. Itu sebabnya, fals nada sering disebut juga sebagai fals vertikal. Selain fals vertikal, ada juga fals horizontal, atau biasa disebut juga dengan fals ketukan. Pada kasus semacam ini, seseorang kerap melakukan kesalahan dalam mengenali ketukan. Salah satunya kita temukan pada orang yang jika menyanyi atau main musik, sering “salah masuk”. 

 Oke, itu adalah fals. Sekarang, apa itu tuna nada? Sebagai awalan, fals mungkin “mengganggu”, tapi tuna nada bisa jadi “mencengangkan”. Mencengangkan karena orang yang menyanyi tersebut bisa saja tidak fals, suaranya indah, tetapi tidak nyambung dengan musiknya. Ia bisa bernyanyi hingga selesai, tanpa merasa ada satupun kekurangan, tetapi orang-orang yang mendengarkannya, terutama yang tidak tuna nada, akan sangat terganggu. Ibaratnya, musiknya main di nada dasar A, si penyanyi main di nada dasar B, dan nyanyiannya ini bisa tidak fals nada dan tidak fals ketukan. Hanya saja, itu tadi, tidak nyambung.

Tuna nada, atau amusia, tone-deafness, tune-deafness, dysmelodia, dysmusia, adalah kondisi seseorang yang tidak bisa mengenali nada, ritmik, atau hal-hal yang berhubungan dengan bebunyian, khususnya musik. Pendengarannya sama sekali tidak bermasalah, tetapi orang dengan tuna nada mengalami masalah untuk mempersepsikan nada di otak mereka. Mengapa bisa demikian? Penelitian awal-awal tentang tuna nada dilakukan oleh Grant Allen tahun 1878. Ia meneliti orang berusia 30 tahun dengan level pendidikan yang tinggi, tetapi mengalami tuna nada dengan tidak mampu mengenali melodi-melodi yang familiar, tidak mampu membedakan nada mana yang lebih tinggi dan lebih rendah pada dua nada yang berurutan, termasuk tidak bisa menyanyi sesuai nada dasar yang ada pada iringan. 

Mungkin kita beranggapan bahwa orang tersebut jarang sekali mendengarkan musik sejak kecil, tetapi temuan Allen justru menemukan hal sebaliknya: orang tersebut pernah belajar musik saat masih anak-anak! Penelitian itu hendak mengatakan, amusia tidak berhubungan dengan latar belakang pendidikan seseorang dan tidak berkaitan dengan intensitas persentuhan seseorang dengan musik. Nyaris seratus tahun kemudian, penelitian Geshwind tahun 1984 menunjukkan bahwa terdapat orang yang mampu berbicara tiga bahasa sekaligus secara lancar, rajin diperdengarkan musik oleh orangtuanya sejak kecil, dan bahkan sempat mengambil les piano, tetap bisa mengalami tuna nada. 

Dengan demikian, apa sebenarnya masalah dari amusia? Sejauh ini berbagai penelitian menyebutkan bahwa masalahnya ada pada otak. Sebagai contoh, sebuah penelitian dari tahun 2009 oleh sekelompok peneliti di Boston, Amerika Serikat, menemukan bahwa pada orang tuna nada, terdapat adanya koneksi yang lebih sedikit antara dua area otak yang menganalisis dan memproduksi suara atau bunyi. Lantas, apakah tuna nada dapat disembuhkan? Sejauh ini, belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa tuna nada bisa disembuhkan secara menyeluruh. Latihan kuping (ear-training) yang intens bisa saja memperbaikinya secara perlahan. 

 

Yang Tuna Nada, Yang Berjaya 

Alih-alih diperlakukan sebagai konten tidak menyenangkan, konten dari orang-orang dengan tuna nada justru bisa dirayakan di dunia permedsosan. Jika kita cek Youtube atau TikTok dan mencari orang-orang yang “tidak bisa menyanyi”, maka tidak jarang beberapa konten semacam itu justru menuai viewers hingga ratusan ribu. Di Korea bahkan sejumlah “penyanyi tuna nada” ini ditampilkan dalam acara sangat laris bernama I Can See Your Voice yang berlangsung sejak tahun 2015 dan telah berjalan hingga 119 episode (sampai April 2022). I Can See Your Voice telah diadopsi oleh beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Belanda, Belgia, Filipina, Malaysia, dan juga Indonesia. 

Dalam I Can See Your Voice, sejumlah “penyanyi misterius” dihadirkan dan hal yang kita ketahui tentang mereka hanya pekerjaannya. Penyanyi tamu kemudian diminta untuk memilih mana penyanyi bagus dan mana penyanyi jelek tanpa mendengarkan mereka menyanyi. Letak keseruan acara tersebut adalah saat penyanyi misterius akhirnya menyanyi dan kita akhirnya tahu apakah ia bisa menyanyi atau tidak. Saat ternyata penyanyi tersebut tidak bisa menyanyi, biasanya seisi studio menertawakannya. Menariknya, “penyanyi jelek” justru mendapat hadiah uang sebesar lima juta won atau sekitar 60 juta rupiah. 

 Mengapa kemudian yang tuna nada ini justru bisa berjaya? Media sosial adalah kuncinya. Rasanya, sebelum media sosial mulai marak, atau saat dunia informasi masih dikuasai oleh media massa dengan segala gatekeeper-nya, orang-orang tuna nada nyaris tidak pernah diberi kesempatan. Mereka yang tampil di televisi, radio, pastilah hanya orang-orang yang “bisa menyanyi”. Hampir tiada satupun media massa yang mau mengambil risiko menampilkan orang tuna nada untuk menyanyi, kecuali jika mereka mau rating-nya terjun bebas. Adapun orang seperti Bob Dylan, yang seringkali dituding “tidak bisa menyanyi”, kita tetap tidak bisa menyebutnya sebagai tuna nada. Bob Dylan tetap melek nada, hanya saja, mungkin bagi sebagian orang, suaranya dinilai tidak terlalu istimewa. 

Media sosial adalah etalase yang bisa menampilkan hal-hal yang tidak bisa kita temukan di era media massa. “Lagu jelek”, “penyanyi jelek”, adalah konsumsi sehari-hari warganet yang mungkin sudah eneg dengan hal-hal yang serba bagus dan indah. Dengan semangat pro kesetaraan, warganet memberi kesempatan bagi orang-orang tuna nada untuk “mendapat panggung” dan bahkan meraup keuntungan finansial dari sana. Sekarang tinggal kita renungkan: apakah mengonsumsi mereka dengan menertawakannya adalah sebentuk diskriminasi? Atau justru sebentuk penerapan prinsip keadilan dalam rangka mengimbangi “penyanyi bagus”? Pertanyaan tersebut silakan dijawab oleh masing-masing pembaca.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...