Demikianlah firman Maha Dewa Rah: Ptah: maka timbullah bumi dan langit. Ptah: maka timbullah bintang dan udara. Ptah: maka timbullah Sungai Nil dan daratan. Ptah: maka timbullah tanah subur dan gurun. Jika saya silap mencatat (di luar kepala) firman Maha Dewa Rah itu, maka silapnya itu tak akan beberapa. Tetapi saya pikir maknanya sudah tersimpul pada catatan di atas ini. Firman Maha Dewa Rah sudah tentu banyak juga kawannya di dunia sekarang. Firman Maha Dewa Rah sudah cukup memberi gambaran tentang Logika Mistika, atau logika yang berdasarkan rohani. Bagian ini memperlihatkan bagaimana Tan Malaka menjelaskan apa yang ia sebut sebagai Logika Mistika, sebuah cara berpikir yang mendasarkan penjelasan dunia pada kekuatan rohani atau supranatural. Ia mencontohkannya melalui kepercayaan pada Dewa Rah dalam kebudayaan Mesir Kuno. Tan Malaka juga sekaligus hendak menunjukkan bahwa Logika Mistika bukanlah hal asing atau terbatas pada satu peradaban, melainkan suatu pola berpik...
Demikianlah firman Maha Dewa Rah: Ptah: maka timbullah bumi dan langit. Ptah: maka timbullah bintang dan udara. Ptah: maka timbullah Sungai Nil dan daratan. Ptah: maka timbullah tanah subur dan gurun. Jika saya silap mencatat (di luar kepala) firman Maha Dewa Rah itu, maka silapnya itu tak akan beberapa. Tetapi saya pikir maknanya sudah tersimpul pada catatan di atas ini. Firman Maha Dewa Rah sudah tentu banyak juga kawannya di dunia sekarang. Firman Maha Dewa Rah sudah cukup memberi gambaran tentang Logika Mistika, atau logika yang berdasarkan rohani.Bagian ini memperlihatkan bagaimana Tan Malaka menjelaskan apa yang ia sebut sebagai Logika Mistika, sebuah cara berpikir yang mendasarkan penjelasan dunia pada kekuatan rohani atau supranatural. Ia mencontohkannya melalui kepercayaan pada Dewa Rah dalam kebudayaan Mesir Kuno. Tan Malaka juga sekaligus hendak menunjukkan bahwa Logika Mistika bukanlah hal asing atau terbatas pada satu peradaban, melainkan suatu pola berpikir yang masih memiliki “kawan-kawan” di dunia modern: cara berpikir yang menempatkan keyakinan spiritual di atas penalaran rasional.
Firman RAH itulah yang menggambarkan jawab yang paling jitu dan konsekwen, jujur-dasar, atas pertanyaan yang maha penting dalam Filsafat: manakah yang pertama, dan mana yang kedua, mana yang asal dan mana yang akibat, di antara Zat dan Rohani? Tetapi ilmu Pasti, seperti ilmu bintang, ilmu alam, ilmu pisah (kimia), ilmu matematika, dan lain-lain, yang semuanya sekarang diajarkan di sekolah di lima benua yang kita kenal ini, ialah berdasarkan Filsafat yang sebaliknya. Di sini Rohani berupa Kodrat, Kracht, Force, tiadalah dianggap barang yang terpisah, barang yang berdiri sendirinya, barang yang bisa melahirkan Zat dalam waktu yang lebih cepat dari sekejap mata. Di sini Force, Kodrat itu, terkandung oleh Matter, oleh benda. Di mana ada benda di sana baru ada Kodrat.Tan Malaka menegaskan perbedaan mendasar antara Logika Mistika dan Logika Ilmiah (Materialisme). Melalui kisah Firman Dewa Rah, ia menggambarkan cara berpikir mistika yang menempatkan roh atau kekuatan spiritual sebagai asal mula segala sesuatu, bahwa benda dan dunia lahir dari kehendak atau firman ilahi. Tan Malaka menolak pandangan ini dan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan modern justru berpijak pada filsafat yang berlawanan: roh atau kekuatan tidak berdiri sendiri, melainkan terkandung dalam benda: tidak ada force tanpa matter. Tan Malaka menempatkan materialisme sebagai dasar berpikir ilmiah dan rasional.
Semua perubahan dalam juta-jutaan tahun itu, dari leburan benda sampai bumi dan bintang di langit, dan dari beberapa biji-asal tadi sampai ke manusia, mempunyai keadaan dan sebab. Oleh karena berlainan keadaan hidup, umpamanya berlainan iklim, maka biji asal tadi menjelma menjadi ikan. Lama kelamaan ikan menjelma menjadi amphibi (hewan yang hidup di air dan daratan, seperti kodok), amphibi lama kelamaan menjadi reptil (binatang menjalar seperti ular). Reptil lambat laun menjelma menjadi binatang yang menyusukan anaknya, seperti lembu dan monyet. Monyet inilah yang menderita penjelmaan dalam jutaan tahun sampai timbul hewan berupa manusia. Semua penjelmaan itu berlaku menurut undang yang nyata, sebab serta akibat yang nyata dan tetap, dalam waktu jutaan tahun. Maha Dewa Rah menjelmakan bumi dan bintang, sungai Nil dan daratan dalam sekejap mata saja — ialah selama membunyikan firman Ptah saja. Tetapi menurut Undang Pertumbuhan, penjelmaan tadi terjadi dalam juta-jutaan tahun. Dalam penjelmaan itu bukan kodrat yang dahulu, melainkan benda, matter. Disinilah Logika Mistika mendapat tantangan hebat dari Ilmu Pasti dalam hal pelaksanaan Undang Pertumbuhan (The Law of Evolution). Dalam hal pelaksanaan lain pun, dalam undang lain dari ilmu pasti, logika mistika tadi mendapat tantangan pula.Tan Malaka menegaskan bahwa alam semesta dan kehidupan tidak muncul secara sekejap melalui kehendak ilahi, melainkan melalui proses panjang yang tunduk pada hukum alam. Ia mengontraskan pandangan mistika, yang menganggap segala sesuatu terjadi seketika lewat firman dewa, dengan pandangan ilmiah yang menjelaskan perubahan melalui evolusi bertahap selama jutaan tahun. Melalui contoh transformasi makhluk hidup dari bentuk sederhana hingga manusia, Tan Malaka menunjukkan bahwa setiap perubahan memiliki sebab dan akibat yang nyata, bukan hasil dari kekuatan gaib.
Tadi Logika Mistika mendapat bantahan dari Undang Pertumbuhan (The Law of Evolution). Dalam uraian di atas ini, kita lihatlah perbantahan yang lain. Logika Mistika pertama berbantah dengan Undang Tentang Ketetapannya Jumlah Kodrat di Dunia ini (Joule). Bertentangan pula dengan kawannya, yaitu Undang Ketetapan Jumlah Benda, dan sama sekali tiada bisa dicocokkan dengan Undang Perpaduan yang Tetap (Dalton). Diperingatkan lagi bahwa Maha Dewa Rah, dalam kurang dari sekejap mata, dengan kata Ptah saja, menimbulkan berjuta-juta bintang, bumi, dan langit.Tan Malaka melanjutkan kritiknya terhadap Logika Mistika dengan menunjukkan bahwa kepercayaan akan penciptaan instan oleh kekuatan supranatural tidak sejalan dengan hukum-hukum ilmiah yang telah terbukti secara empiris. Ia menyebut sejumlah prinsip dasar sains seperti hukum kekekalan energi (Joule), hukum kekekalan massa, dan hukum perbandingan tetap (Dalton) sebagai bukti bahwa alam bekerja melalui keteraturan material yang dapat diukur, bukan melalui firman dewa.
Kini persoalan bukanlah lagi mana yang bermula, Zat ataukah Roh, melainkan siapa yang terkuasa, Dewa Rah ataukah Alam? Tiga jawab yang mungkin, dan tiga jari pula yang perlu dipakai: 1. Dewa Rah lebih kuasa dari Alam dan Undangnya. 2. Dewa Rah sama kuasa dengan Alam dan Undang Alam. 3. Dewa Rah kurang kuasa dari Alam dan Undang Alam.Tan Malaka menggeser pertanyaan filsafat klasik tentang asal mula keberadaan (materi atau roh) menjadi pertarungan epistemologis antara kekuasaan mitologis dan hukum alam. Ia menyajikan tiga kemungkinan posisi antara “Dewa Rah” dan “Alam” untuk menegaskan bahwa persoalan hakiki bukan sekadar metafisik, tetapi menyangkut otoritas pengetahuan: apakah dunia tunduk pada kekuatan adikodrati atau pada hukum-hukum alam yang rasional.
Balik kita kejari ke 1, yakni pada telunjuk yang mengatakan bahwa Dewa Rah lebih kuasa dari Alam dan Undangnya! Menurut Ilmu Bintang zaman sekarang, maka jutaan Bintang dan Bumi beredar menurut Undang yang pasti, ialah undangnya Newton. Undang itu diakui syah, dipelajari di sekolah, dan dipakai oleh Ahli Bintang buat menghitung hal yang berkenaan dengan bumi dan bintang. Undang Newton tetap diakui syahnya, walaupun Einstein dalam beberapa perhitungan bisa mendapatkan hasil yang lebih jitu. Kalau undang alam yang dilukiskan oleh Newton itu jatuh, ataupun satu menit saja berhenti, maka kacau balaulah jutaan bumi dan bintang tadi. Tetapi selama Ilmu Pasti lahir dan ahli-ilmu-pasti memperhatikan jalannya Bumi dan Bintang ini, belumlah satu saat juga undang gerakan bintang itu dapat perkosaan. Belum pernah Maha Dewa RAH—yang mestinya masih ada—menahan matahari naik, atau mencegah matahari turun. Pasti Rah tak akan bisa.Tan Malaka menggunakan hukum gravitasi Newton sebagai bukti kuat bahwa alam semesta bekerja secara konsisten di bawah hukum-hukum yang dapat dipahami manusia, bukan atas kehendak dewa atau kekuatan adikodrati. Ia menyindir kepercayaan religius yang menganggap Tuhan dapat “menahan matahari” atau “mengubah” tatanan kosmos, dengan menunjukkan bahwa dalam sejarah observasi ilmiah, hukum alam tidak pernah sekali pun dilanggar.
2. Pada jari tengah: Dewa Rah sama kuasa dengan Alam dan Undang Alam. Kalau begitu, apa gunanya menyembah Dewa Rah? Dewa Rah tidak diketahui jalannya. Dia adalah satu kegaiban yang maha besar. Sedangkan alam bukanlah semuanya gaib—sudah banyak diketahui undangnya, jalannya. Boleh dilihat akibatnya dan disimpulkan segala buktinya. Ditunjukkan kebenarannya dengan tak pernah mungkir. Boleh dipakai undangnya itu buah keselamatan dan kesenangan hidup. Jadi lebih baik sembah, junjung, dan puja alam saja, barang yang nyata itu. Seandainya Maha Dewa Rah tak menyetujui hal ini, maka dia boleh parani alam dan kalau perlu berjuang, mengukur kekuatan dengan alam. Karena kekuatan Rah dan Alam itu, seperti sudah kita andaikan tadi, sama, maka kita makhluk yang hina ini boleh menjadi penonton saja. Kita tak perlu takut. Dewa Rah tak akan bisa berhenti memarani kita penonton. Karena Dia tak bisa lepas dari gelutan, sepak-terjang, terlak, serta kuntauannya alam yang sama kuat dengan Dewa Rah itu.Tan Malaka menyindir absurditas logika mistika yang menempatkan kekuatan ilahi dan alam sebagai dua entitas yang setara. Jika keduanya sama kuat, kata Tan, maka manusia tidak punya alasan untuk menyembah Tuhan, sebab alam justru nyata dan dapat dipahami melalui hukum-hukumnya.
3. Pada jari manis: Dewa Rah kurang kuasa dari Alam dan Undangnya. Seandainya kemungkinan ini benar, maka kita ingat pada nasibnya Dr. Frankenstein. Dia, seperti kita tahu, membikin seorang raksasa—menghidupkan kembali dengan jalan Ilmu Listrik satu mayat. Tetapi otaknya mayat itu ialah otaknya seorang bangsat. Raksasa yang dihidupkan ini menjadi musuh mati-matian Dr. Frankenstein. Sang dokter terpaksa lari bersembunyi saja, tak sanggup menentang buatannya sendiri. Kasihan pula kita kalau Dewa Rah membikin Alam yang lebih berkuasa dari pembikin, ialah Rah sendiri, sampai terpaksa lari bersembunyi. Dr. Frankenstein bisa mencari tempat bersembunyi. Tetapi kemanakah Dewa Rah akan bersembunyi? Bukankah semua yang ada ialah Alam yang takluk pada Undangnya Alam? Demikianlah, menurut kemungkinan yang terakhir ini, Maha Dewa Rah mestinya takluk pada Alam. Sebagai bukti, ialah di mana saja dan pada waktu mana saja, Undangnya Alam tak pernah dan tak bisa dapat bantahan.Tan Malaka menggunakan alegori Dr. Frankenstein sebagai sindiran tajam terhadap gagasan ketuhanan yang menciptakan alam namun kemudian kalah oleh ciptaannya sendiri. Analogi tersebut menyoroti absurditas kepercayaan bahwa Tuhan dapat dikalahkan oleh hukum alam yang Ia sendiri ciptakan, sehingga secara logis justru menjadikan Tuhan tunduk pada alam.
Gauthama Budha yang saya anggap ahli filsafat Mistika yang terbesar semenjak dunia ini diketahui, ahli filsafat yang lebih besar pengaruhnya dari ahli filsafat Barat—dari Plato sampai Hegel—lebih besar daripada pengakuan Barat sendiri. Gauthama Budha yang sudah mengakui bahwa Rohaninya sudah bersatu padu dengan Roh Alam, sudah sampai ke Nirwana, jika disesakkan oleh muridnya dengan pertanyaan: apakah Roh Alam (Rohani) itu sama dengan Jiwa (manusia)? terpaksa menjawab: ‘Pertanyaan itu salah.’ Artinya, hal semacam itu jangan ditanyakan. Artinya, Budha sendiri tak bisa menjawab. Tiada pula kita heran kalau ahli Mistika zaman sekarang, yang sebesar kaliber Mahatma Gandhi, kalau ditanyakan apakah ahimsa itu, maka Sang Mahatma memakai cara menjawab yang oleh Ahli Logika Yunani dinamai circulo in finiendo, ialah berputar-putar tak habis-habisnya, seperti menghesta kain sarung.Tan Malaka mengkritik kelemahan mendasar dari logika mistika yang ia lihat bahkan pada tokoh-tokoh besar seperti Buddha dan Gandhi. Ia menilai bahwa meskipun Buddha mencapai puncak spiritualitas dengan gagasan penyatuan roh dengan alam (nirwana), ajarannya gagal menjawab pertanyaan logis tentang hubungan antara roh alam dan jiwa manusia. Begitu pula Gandhi, yang dengan konsep ahimsa-nya (anti-kekerasan) justru terjebak dalam argumentasi yang berputar tanpa ujung. Maksudnya, Gandhi tidak memberikan jawaban rasional terhadap pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” ahimsa harus diterapkan; ia hanya menegaskan ahimsa itu benar karena ahimsa itu baik.

Comments
Post a Comment