Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
Sejak kena cancel, saya kemana-mana lebih sering sendiri. Atau, paling jauh, bersama kekasih saya. Lingkar sosial yang dulu luas, kini terasa seperti balon yang perlahan dikempiskan. Tidak meledak, hanya mengempis—membuat ruangnya semakin sempit, membuat saya semakin sering duduk sendirian di sudut kafe atau berjalan sendiri di tengah keramaian. Tapi yang menarik, kesendirian ini di perkotaan ternyata tak jadi masalah besar. Ada satu kunci sederhana: punya uang untuk bertransaksi.
Kehidupan kota punya logika yang aneh tapi efisien. Orang tak peduli siapa kita, atau apa yang menimpa kita di media sosial, selama kita bisa membayar. Pelayan tetap mengantar kopi tanpa komentar, kasir tetap tersenyum seadanya saat kita membeli rokok, driver tetap mengantarkan pesanan tanpa menanyakan masa lalu. Keramaian kota membuat gosip memantul cepat, tapi juga cepat hilang. Orang-orang asing itu, pada dasarnya, tidak punya alasan untuk menyimpan amarah personal terhadap kita.
Saya mulai menyadari, kedekatan di kota seringkali dibangun di atas transaksi. Saat ada uang atau pertukaran jasa, orang mendekat; ketika transaksi selesai, jarak kembali terbentuk. Selebihnya, mereka tidak punya energi—atau mungkin keberanian—untuk terlibat dalam konfrontasi personal. Bagi sebagian besar orang, drama hidup orang lain hanyalah latar belakang samar yang cepat diganti oleh berita terbaru.
Beda ceritanya kalau kita hidup di masyarakat komunal. Di sana, gosip bukan sekadar riak, tapi ombak yang bisa menghantam kehidupan sehari-hari. Ruang gerak menyempit, tatapan berubah, dan bahkan transaksi pun bisa dibatalkan dengan alasan moralitas kawanan. Uang tidak selalu mampu menembus benteng sosial yang dijaga oleh rasa malu, gengsi, dan tradisi.
Maka, di kehidupan perkotaan, “kena cancel” pada dasarnya hanyalah perpindahan tongkrongan. Dari lingkar yang merasa bermoral, ke lingkar yang lebih transaksional. Dari meja-meja di mana reputasi adalah mata uang utama, ke meja-meja di mana satu-satunya mata uang adalah… ya, mata uang itu sendiri. Dan ternyata, hidup bisa berjalan juga di sana.

Comments
Post a Comment