Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Sejak kena cancel, saya kemana-mana lebih sering sendiri. Atau, paling jauh, bersama kekasih saya. Lingkar sosial yang dulu luas, kini terasa seperti balon yang perlahan dikempiskan. Tidak meledak, hanya mengempis—membuat ruangnya semakin sempit, membuat saya semakin sering duduk sendirian di sudut kafe atau berjalan sendiri di tengah keramaian. Tapi yang menarik, kesendirian ini di perkotaan ternyata tak jadi masalah besar. Ada satu kunci sederhana: punya uang untuk bertransaksi.
Kehidupan kota punya logika yang aneh tapi efisien. Orang tak peduli siapa kita, atau apa yang menimpa kita di media sosial, selama kita bisa membayar. Pelayan tetap mengantar kopi tanpa komentar, kasir tetap tersenyum seadanya saat kita membeli rokok, driver tetap mengantarkan pesanan tanpa menanyakan masa lalu. Keramaian kota membuat gosip memantul cepat, tapi juga cepat hilang. Orang-orang asing itu, pada dasarnya, tidak punya alasan untuk menyimpan amarah personal terhadap kita.
Saya mulai menyadari, kedekatan di kota seringkali dibangun di atas transaksi. Saat ada uang atau pertukaran jasa, orang mendekat; ketika transaksi selesai, jarak kembali terbentuk. Selebihnya, mereka tidak punya energi—atau mungkin keberanian—untuk terlibat dalam konfrontasi personal. Bagi sebagian besar orang, drama hidup orang lain hanyalah latar belakang samar yang cepat diganti oleh berita terbaru.
Beda ceritanya kalau kita hidup di masyarakat komunal. Di sana, gosip bukan sekadar riak, tapi ombak yang bisa menghantam kehidupan sehari-hari. Ruang gerak menyempit, tatapan berubah, dan bahkan transaksi pun bisa dibatalkan dengan alasan moralitas kawanan. Uang tidak selalu mampu menembus benteng sosial yang dijaga oleh rasa malu, gengsi, dan tradisi.
Maka, di kehidupan perkotaan, “kena cancel” pada dasarnya hanyalah perpindahan tongkrongan. Dari lingkar yang merasa bermoral, ke lingkar yang lebih transaksional. Dari meja-meja di mana reputasi adalah mata uang utama, ke meja-meja di mana satu-satunya mata uang adalah… ya, mata uang itu sendiri. Dan ternyata, hidup bisa berjalan juga di sana.
Comments
Post a Comment