Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Hari ini, entah bagaimana, saya baru sadar: ini adalah hari ulang tahun cancel culture saya. Setahun lalu, tepat di tanggal ini, sebuah kehebohan di platform X meledak seperti bom kembang api—indah bagi yang menonton, tapi membakar habis hidup saya dalam hitungan hari. Rasanya aneh, lucu sekaligus getir, mengingat bagaimana dunia maya bisa begitu cepat mengubah peta hidup seseorang. Tapi tidak, saya tidak ingin membahas detail peristiwa itu. Sudahlah. Itu bab lama yang sudah saya lipat dan simpan di laci paling bawah.
Sekarang, saya menjalani kehidupan yang sama sekali baru. Kehidupan yang, sejujurnya, tidak sepenuhnya damai—terutama karena dijalani bersama pasangan saya. Kami sering bertengkar. Sering sekali. Kadang saya heran, bagaimana bisa dua orang yang begitu sering saling adu argumen masih memutuskan untuk sama-sama setiap harinya. Tapi nyatanya, kami tetap bertahan sejak memutuskan untuk bersama sekitar Desember 2024… atau mungkin September? Entahlah, saya bahkan lupa tanda pastinya. Yang saya ingat, setelah itu hidup saya tak pernah lagi sama.
Meski partner saya ini merepotkan (sungguh merepotkan), dia adalah orang yang paling banyak menolong saya melewati masa-masa sulit cancel culture. Bukan dengan cara dramatis seperti di film—bukan dengan pidato panjang, pelukan berjam-jam, atau rencana penyelamatan yang rumit. Dia tidak selalu mendampingi dengan cara textbook “support system”. Tapi dia ada. Dia menemani. Kadang dengan diam, kadang dengan ocehan yang membuat saya jengkel, tapi entah kenapa, justru itu yang menahan saya agar tidak jatuh lebih dalam.
Merawat relasi yang merepotkan ini membuat saya sadar satu hal: inilah problem terbesar saya. Dan anehnya, justru itu yang membuat problem-problem lain terasa kecil. Seolah dunia memberi saya satu “bos terakhir” dalam hidup, dan selama saya sibuk menghadapinya, rintangan lain jadi sekadar latihan.
Saya bahkan membayangkan, kalau dia tidak ada, mungkin masalah-masalah lain akan terasa jauh lebih besar dan menakutkan. Jadi, saya sudah memutuskan: biarlah dia saja problem terbesar saya. Problem yang setiap hari saya hadapi, saya perbaiki, saya mengerti, dengan sukacita dan cinta yang besar. Karena kalau harus memilih, saya lebih rela pusing memikirkan dia, daripada pusing memikirkan hidup yang kosong.
Comments
Post a Comment