Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
"Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan"
Ungkapan ini sering dikutip, tapi mungkin jarang direnungkan sedalam-dalamnya. Baru setelah saya sendiri mengalaminya, saya bisa memahami maknanya dengan lebih nyata. Fitnah bukan sekadar kebohongan atau kabar miring; ia adalah pisau yang tak menumpahkan darah, racun yang bekerja pelan namun pasti, menghancurkan tanpa harus membunuh secara fisik.
Mengapa fitnah disebut lebih kejam daripada pembunuhan? Jika seseorang dibunuh, barangkali rasa sakit itu hanya sebentar, lalu kesadarannya lenyap—entah berpindah ke alam lain, atau hilang sama sekali. Tetapi dalam fitnah, seseorang tetap dibiarkan hidup, bahkan dipaksa terus bernapas, namun di dalam kehidupan yang berubah menjadi penjara. Ia hidup di tengah pandangan keliru orang-orang, hidup dengan stigma yang tak pernah ia pilih, hidup dengan hukuman yang tak pernah setimpal dengan perbuatannya.
Saya akhirnya tahu rasanya itu. Sejak peristiwa cancel culture setahun lalu, hidup saya berubah. Ada beberapa hal yang mungkin memang membuat sebagian orang tak nyaman, mungkin juga merugikan beberapa pihak. Tetapi yang terjadi kemudian jauh melampaui proporsinya: perbuatan saya itu diambil, dicabut dari konteks, lalu dibingkai sedemikian rupa sebagai sebuah kejahatan besar. Dari sebuah kelalaian atau kesalahan kecil, tiba-tiba saya diposisikan sebagai figur yang bejat, tak bermoral, bahkan layak dicurigai dan diwaspadai. Saya bukan hanya dihukum, tapi juga dihapus, dilenyapkan reputasinya di ruang publik.
Masalah paling kejam dari fitnah adalah ketiadaan ruang untuk klarifikasi. Seolah-olah karakter saya sudah dibunuh terlebih dahulu, sehingga apa pun penjelasan yang saya berikan tidak lagi dipercaya. Klarifikasi menjadi percuma, karena framing sudah bekerja lebih cepat daripada penjelasan. Fitnah menjadikan seseorang tak hanya dihukum atas kesalahan, tetapi dihukum atas bayangan kesalahan yang tak pernah ia lakukan.
Kini saya benar-benar mengerti mengapa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Pembunuhan mematikan tubuh, tapi fitnah mematikan jiwa. Ia membunuh kemungkinan kita dipercaya, merusak seluruh hubungan sosial, dan meninggalkan bekas luka yang lebih lama daripada luka fisik. Fitnah membuat seseorang terus hidup, tetapi di dalam kehidupan yang telah dicabut maknanya. Dan barangkali, inilah penderitaan yang paling sulit ditanggung: terus hidup di bawah bayang-bayang sesuatu yang tidak pernah benar-benar kita lakukan.
Comments
Post a Comment