Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Ambiguitas Syukur


Ketika sebuah kebakaran melanda lingkungan sekitar rumah, pertanyaan yang kerap muncul dari orang lain biasanya sederhana: “Bagaimana keadaanmu?” Jawaban yang spontan keluar sering kali adalah, “Alhamdulillah, tidak terdampak.” Kalimat syukur ini terdengar tulus, seolah hanya bentuk pengakuan akan keselamatan diri sendiri. Namun, jika direnungkan lebih jauh, ucapan itu juga mengandung dimensi lain yang jarang disadari: “Alhamdulillah, bukan saya yang terdampak, tetapi orang lain.” Artinya, rasa syukur yang kita lafalkan dalam situasi tersebut tidak pernah sepenuhnya murni; ia selalu parsial, terkait dengan perbedaan nasib antara kita dan orang lain. 

Dalam titik ini, syukur menjadi cermin yang memperlihatkan sisi egosentris manusia—kita lega karena selamat, tetapi sekaligus menyinggung bahwa ada orang lain yang harus menanggung derita. 

Lalu, apakah memang demikian cara kerja konsep syukur? Jika syukur selalu lahir dari perbandingan, bukankah itu menandakan adanya bias moral dalam diri kita? Kita merasa perlu bersyukur justru karena ada orang lain yang tidak seberuntung kita. Tetapi apakah ini tidak bertentangan dengan gagasan tentang keadilan Tuhan? Jika keselamatan kita harus “dibayar” dengan penderitaan orang lain, di manakah letak kebijaksanaan ilahi yang diyakini adil bagi semua makhluk? Apakah keadilan Tuhan berarti memberikan ujian kepada sebagian orang, agar sebagian yang lain bisa belajar bersyukur?

Pertanyaan ini menimbulkan dilema etis. Jika kita bersyukur, bagaimana dengan posisi orang lain yang mengalami kerugian atau musibah? Apakah mereka juga dituntut untuk bersyukur dalam ketidakberuntungan mereka? Dalam tradisi keagamaan, sering ada ajaran bahwa orang yang ditimpa musibah harus tetap bersyukur karena “di balik cobaan pasti ada hikmah.” Namun, dari sudut pandang manusia yang sedang menderita, tuntutan itu terdengar berat, bahkan tidak adil. Bagaimana mungkin seseorang yang kehilangan rumah, harta benda, atau bahkan orang terdekatnya dipaksa untuk memaknai penderitaannya sebagai sesuatu yang patut disyukuri? 

Di sisi lain, ada kecenderungan lain yang lebih problematis: menyederhanakan musibah orang lain sebagai ganjaran atas kesalahan atau dosa-dosa mereka. Dengan cara ini, kita membebaskan diri dari beban empati. Kita merasa tidak perlu terlalu peduli karena nasib buruk yang menimpa orang lain dianggap sebagai konsekuensi yang pantas. Pandangan semacam ini bukan hanya menutup ruang solidaritas, melainkan juga menggeser makna syukur menjadi alat pembenaran bagi rasa lega kita sendiri. Kita bersyukur bukan lagi karena kesadaran spiritual, tetapi karena merasa lebih “beruntung” dibandingkan mereka yang ditimpa malapetaka. 

Maka, barangkali yang perlu ditinjau ulang adalah bagaimana kita memaknai syukur. Apakah syukur hanya cukup berhenti pada dimensi personal—selamatnya diri sendiri dan keluarga—atau seharusnya ia diperluas ke arah sosial, sehingga melahirkan kepedulian terhadap mereka yang menderita? Jika syukur hanya berhenti di titik “untungnya saya selamat”, maka syukur menjadi sempit, bahkan bisa jatuh pada egoisme spiritual. Tetapi jika syukur dimaknai sebagai energi untuk menolong, maka kalimat “Alhamdulillah saya selamat” seharusnya diikuti dengan kesadaran: “Dan karena itu, saya punya kesempatan untuk membantu mereka yang tidak selamat.” 

Dengan demikian, syukur tidak lagi berdiri berhadap-hadapan dengan penderitaan orang lain, melainkan hadir sebagai jembatan. Kita bersyukur bukan karena orang lain menderita, melainkan karena kita masih diberi kemampuan untuk berbagi, menopang, dan meringankan beban mereka. Dalam kerangka inilah keadilan Tuhan bisa dipahami bukan sebagai distribusi nasib yang timpang, melainkan sebagai peluang bagi manusia untuk menjalankan solidaritas dan kasih sayang. Syukur pun berubah wajah: dari sekadar pernyataan lega individual menjadi panggilan etis untuk hadir bersama orang lain dalam suka maupun duka.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...