Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Ketika sebuah kebakaran melanda lingkungan sekitar rumah, pertanyaan yang kerap muncul dari orang lain biasanya sederhana: “Bagaimana keadaanmu?” Jawaban yang spontan keluar sering kali adalah, “Alhamdulillah, tidak terdampak.” Kalimat syukur ini terdengar tulus, seolah hanya bentuk pengakuan akan keselamatan diri sendiri. Namun, jika direnungkan lebih jauh, ucapan itu juga mengandung dimensi lain yang jarang disadari: “Alhamdulillah, bukan saya yang terdampak, tetapi orang lain.” Artinya, rasa syukur yang kita lafalkan dalam situasi tersebut tidak pernah sepenuhnya murni; ia selalu parsial, terkait dengan perbedaan nasib antara kita dan orang lain.
Dalam titik ini, syukur menjadi cermin yang memperlihatkan sisi egosentris manusia—kita lega karena selamat, tetapi sekaligus menyinggung bahwa ada orang lain yang harus menanggung derita.
Lalu, apakah memang demikian cara kerja konsep syukur? Jika syukur selalu lahir dari perbandingan, bukankah itu menandakan adanya bias moral dalam diri kita? Kita merasa perlu bersyukur justru karena ada orang lain yang tidak seberuntung kita. Tetapi apakah ini tidak bertentangan dengan gagasan tentang keadilan Tuhan? Jika keselamatan kita harus “dibayar” dengan penderitaan orang lain, di manakah letak kebijaksanaan ilahi yang diyakini adil bagi semua makhluk? Apakah keadilan Tuhan berarti memberikan ujian kepada sebagian orang, agar sebagian yang lain bisa belajar bersyukur?
Pertanyaan ini menimbulkan dilema etis. Jika kita bersyukur, bagaimana dengan posisi orang lain yang mengalami kerugian atau musibah? Apakah mereka juga dituntut untuk bersyukur dalam ketidakberuntungan mereka? Dalam tradisi keagamaan, sering ada ajaran bahwa orang yang ditimpa musibah harus tetap bersyukur karena “di balik cobaan pasti ada hikmah.” Namun, dari sudut pandang manusia yang sedang menderita, tuntutan itu terdengar berat, bahkan tidak adil. Bagaimana mungkin seseorang yang kehilangan rumah, harta benda, atau bahkan orang terdekatnya dipaksa untuk memaknai penderitaannya sebagai sesuatu yang patut disyukuri?
Di sisi lain, ada kecenderungan lain yang lebih problematis: menyederhanakan musibah orang lain sebagai ganjaran atas kesalahan atau dosa-dosa mereka. Dengan cara ini, kita membebaskan diri dari beban empati. Kita merasa tidak perlu terlalu peduli karena nasib buruk yang menimpa orang lain dianggap sebagai konsekuensi yang pantas. Pandangan semacam ini bukan hanya menutup ruang solidaritas, melainkan juga menggeser makna syukur menjadi alat pembenaran bagi rasa lega kita sendiri. Kita bersyukur bukan lagi karena kesadaran spiritual, tetapi karena merasa lebih “beruntung” dibandingkan mereka yang ditimpa malapetaka.
Maka, barangkali yang perlu ditinjau ulang adalah bagaimana kita memaknai syukur. Apakah syukur hanya cukup berhenti pada dimensi personal—selamatnya diri sendiri dan keluarga—atau seharusnya ia diperluas ke arah sosial, sehingga melahirkan kepedulian terhadap mereka yang menderita? Jika syukur hanya berhenti di titik “untungnya saya selamat”, maka syukur menjadi sempit, bahkan bisa jatuh pada egoisme spiritual. Tetapi jika syukur dimaknai sebagai energi untuk menolong, maka kalimat “Alhamdulillah saya selamat” seharusnya diikuti dengan kesadaran: “Dan karena itu, saya punya kesempatan untuk membantu mereka yang tidak selamat.”
Dengan demikian, syukur tidak lagi berdiri berhadap-hadapan dengan penderitaan orang lain, melainkan hadir sebagai jembatan. Kita bersyukur bukan karena orang lain menderita, melainkan karena kita masih diberi kemampuan untuk berbagi, menopang, dan meringankan beban mereka. Dalam kerangka inilah keadilan Tuhan bisa dipahami bukan sebagai distribusi nasib yang timpang, melainkan sebagai peluang bagi manusia untuk menjalankan solidaritas dan kasih sayang. Syukur pun berubah wajah: dari sekadar pernyataan lega individual menjadi panggilan etis untuk hadir bersama orang lain dalam suka maupun duka.
Comments
Post a Comment