Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Setelah menjalani program harian dari RS selama lebih dari dua minggu, saya juga sekaligus mendapat pandangan darinya berkenaan dengan yoga, jurnal rasa syukur, dan hal-hal yang berhubungan dengan ketenangan batin atau well-being. Well-being memang bukan perkara perbaikan mental dan pola pikir saja, melainkan juga memerlukan latihan dan kedisiplinan tubuh tertentu. Mesti ada yang sekaligus dipraktikkan dalam rangka mencapai ketenangan batin tersebut.
Saya memang belum sampai pada latihan pernapasan, meditasi dan serangkaian penempaan tubuh lainnya. Saya baru sampai pada tahap berolahraga rutin dan bagi saya hal demikian sudah prestasi yang lumayan. Namun atas pandangan-pandangan RS, saya kemudian merenungkan apakah hal demikian, termasuk program harian yang tengah saya kerjakan ini, bertalian dengan kelas sosial tertentu, yang katakanlah, memiliki cukup punya akses terhadap pengetahuan dan memiliki waktu luang yang lumayan?
Tanpa bermaksud merendahkan kelas sosial tertentu, dalam pengamatan yang terbatas, saya tidak pernah tahu ada katakanlah, satpam atau tukang parkir yang menulis gratitude journal atau memeluk diri sendiri sebagai manifestasi self-love. Mungkin pengetahuan semacam itu tidak terdistribusi secara merata dan persis disitulah salah satu persoalannya: hanya kelas sosial yang cukup punya akses dan waktu luang yang bisa menjalankan metode tertentu dalam mencapai well-being.
Tetapi jikapun katakanlah satpam atau tukang parkir kemudian mengetahui perkara jurnal rasa syukur dan self-love, akankah metode demikian dijalankan? Saya juga tidak terlalu yakin. Mungkin tampak kurang praktis, meskipun dalam kelas sosial yang lebih atas, justru pemilihan metode-metode ini dianggap lebih praktis dalam artian: memiliki dampak yang kurang lebih bisa langsung dirasakan ketimbang sebutlah agama.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pemaknaan tentang apa yang "praktis". Agama dinilai praktis bagi kelas bawah, karena di dalamnya sudah mencakup "segala", mulai dari gerakan-gerakan dalam ritual, perapalan rasa syukur, penempaan tubuh dalam bentuk berpuasa, sampai konsep self-love dalam arti tertentu. Sementara bagi kelas atas, agama mungkin oke, tetapi tidak cukup paten untuk memberikan dampak secara langsung.
Kelas semacam ini memerlukan suatu pendekatan yang lebih keras, tetapi bisa berpengaruh lebih cepat ketimbang agama yang mungkin dipandang terlalu abstrak dan metafisis. Mereka bersedia untuk keluar uang, menghabiskan hari-hari untuk latihan pernapasan, mengonsumsi makanan sehat yang mahal, sebagai cara untuk mencapai well-being dengan lebih ringkas. Karena apa? Hari-hari mereka dipenuhi percepatan. Pencapaian well-being lewat agama semata dianggap terlampau lamban dan bertele-tele.
Comments
Post a Comment