Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Akhir Desember 2024, saya berjumpa dengan kawan bernama RS. Setelah ngobrol cukup lama, RS menawarkan semacam program-perbaikan-gaya-hidup terutama terkait konsumsi makanan dan olahraga rutin. Sebenarnya saya cukup akrab dengan disiplin-disiplin semacam itu. Tahun 2017, saya pernah diet keto selama sekitar dua minggu dan berat badan berhasil turun secara drastis. Sejak kena cancel sekitar delapan bulan lalu, memang saya tidak pernah secara intens memperhatikan diri sendiri. Makan bebas saja yang penting makan. Olahraga sesekali saja, itupun kalau ingat.
Pertimbangan RS tidak cuma kesehatan fisik, melainkan juga mental dan ujungnya bisa jadi spiritual. Problem yang saya alami tidak mudah untuk dilewati hanya dengan perbaikan-perbaikan pada pikiran, tapi juga mulai dari disiplin tubuh. Saya setuju dan mengikuti program yang diberikan RS. Kata RS, pelan-pelan saja, baby step. Tidak usah langsung berubah secara drastis.
Program tersebut mengharuskan saya untuk tidak menyentuh makanan-makanan manis dan mengandung karbohidrat. Selain itu, dalam program yang menyertakan jurnal yang wajib diisi setiap hari itu, saya diminta untuk mengisi perihal olahraga yang dijalankan di hari itu, jumlah rokok yang dihisap, jenis minuman yang dikonsumsi, serta gambaran mood dan energi. Lumayan, dengan cara ini, saya jadi lebih disiplin. RS melakukan kontrol setiap pagi dan sejauh ini saya masih konsisten mengirimkan laporan.
Pelan-pelan tubuh mulai terbiasa. Melihat nasi rasanya sudah tidak berselera lagi. Terhadap yang manis-manis saya masih suka ingin sesekali, tetapi tidak nagih seperti dulu. Olahraga pun dari yang tadinya malas, sekarang sangat diusahakan meski cuma push up sepuluh kali. Dampaknya mulai terasa, tidak cuma tubuh lebih ringan tetapi juga: tidur lebih teratur, perasaan lebih tidak terlalu menggebu-gebut, dan stamina rasanya lebih baik.
Juga saya jadi ingat bahwa olahraga dan berkarya memang dua hal yang tak usah dipisahkan. Mungkin saya pernah berpendapat bahwa olahraga tak seberapa penting karena berkarya adalah sekaligus usaha "merusak" tubuh untuk mendapat kemurnian pikiran/ gagasan. Maka itu merokok dan minum-minum bisa lebih mendorong karya untuk termanifestasi ketimbang bergaya hidup sehat. Saya tetiba ingat Haruki Murakami yang rajin marathon sampai usia tua dan terbukti masih produktif berkarya. Papap pun demikian, sampai usia 70-an masih mampu berpameran tunggal ditopang kebiasaan pingpong-nya di hari Minggu. Jadi, mengapa tidak?
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa usia saya menjelang kepala empat. Perkara kesehatan menjadi kian sensitif apalagi saya memang mengidap Diabetes Tipe 2. Pada akhirnya manusia memang akan sakit dan mati, tetapi mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat memberi semacam penghiburan psikologis bahwa saya kelihatannya akan hidup lebih lama.
Comments
Post a Comment