Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Setelah melihat lebih banyak jenis manusia dalam hidup ini, saya semakin yakin tentang satu kategori bernama manusia dengan "jiwa yang indah" (beautiful soul). Manusia dengan jiwa yang indah ini cenderung Kantian, dalam artian patuh mengikuti aturan atas kesadaran dan hati nuraninya sendiri, bukan atas desakan atau mempertimbangkan keuntungan tertentu. Seseorang dengan jiwa yang indah tidak akan mencari profit dengan cara yang problematik seperti korupsi, menerima suap, atau memakan riba. Orang dengan jiwa yang indah merasa tenang dengan berpegang pada prinsip yang diyakininya, meski prinsip tersebut membuatnya miskin dan sengsara.
Hal yang agak mencolok pada orang dengan jiwa yang indah ini - dan menjadi alasan mengapa ia dikatakan demikian - adalah keengganannya untuk bergulat dengan persoalan struktural yang kompleks karena yang menjadi pegangan utamanya adalah keluhuran moral. Terhadap nasib-nasib yang buruk, orang-orang dengan jiwa yang indah akan menilainya sebagai kesalahan orang yang bersangkutan. Nasib buruk, mudahnya, terjadi akibat moral yang buruk.
Seseorang dengan jiwa yang indah biasanya malas terlibat dengan politik praktis. Politik praktis dipandangnya terlalu berbelit-belit dan pada akhirnya mengorbankan hati nuraninya yang nyaman dengan keputusan-keputusan pribadi. Itu sebabnya terhadap kondisi politik yang buruk dan menjadi penyebab berbagai kebijakan publik yang buruk, orang dengan jiwa yang indah akan mengembalikannya pada urusan akhlak ketimbang melihatnya sebagai kerusakan sistemik. Pada titik tertentu, orang-orang semacam ini akan menjadi sangat eksklusif dan steril terhadap hal-hal di luar kepentingan privatnya. Tidak ada hal yang lebih penting daripada keluarga dan kelompok kecilnya, tempat mereka berlindung di zona nyaman tanpa dikotori hal-hal eksternal.
Religiusitas juga menjadi kata kunci dalam jiwa yang indah. Mereka memerlukan justifikasi bagi kebaikan moralnya maka itu menjadi lari pada agama. Agama di sini bukan dipakai untuk perjuangan sosial, melainkan pembenaran akan ketakpedulian. Mereka percaya sekali bahwa apa yang dicapainya adalah hasil usaha sendiri, berkah sendiri yang diturunkan Tuhan langsung kepadanya.
Orang dengan jiwa yang indah memilih untuk menjaga api kecil dalam dirinya ketimbang repot-repot mengurusi kegelapan yang lebih besar di luar sana. Mereka tidak jahat, tidak culas, tidak merugikan siapa pun secara langsung. Tapi ketakmauan mereka untuk bersinggungan dengan kompleksitas membuat mereka mudah merasa cukup dengan kebaikan-kebaikan sederhana, yang sayangnya, tak selalu mampu melawan problem struktural.
Comments
Post a Comment