Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Istilah “demokrasi” berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu dÄ“mos yang artinya rakyat dan kratos yang artinya pemerintahan atau kekuasaan. Karl Popper, pemikir asal Austria, menyebutkan demokrasi sebagai kekuasaan oleh rakyat, dan maka itu rakyat memiliki hak untuk berkuasa (Popper, 1988). Dalam situs resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa, demokrasi diartikan sebagai “penyediaan lingkungan yang berisi penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasariah, yang di dalamnya kehendak bebas dari rakyat mampu diungkapkan dan dapat diwujudkan” (United Nations, 2015). Meski dapat diartikan secara sederhana sebagai “pemerintahan rakyat”, tapi dalam praktiknya, demokrasi adalah konsep yang amat luas. Bahkan sebuah riset dari Jean-Paul Gagnon menyebutkan bahwa terdapat 2.234 kata sifat dalam bahasa Inggris untuk mendefinisikan demokrasi (Gagnon, 2018).
Bernard Crick dalam bukunya yang berjudul Democracy: A Very Short Introduction (2003) menyadari bahwa istilah demokrasi, dalam praktiknya, kerap diartikan secara beragam. Crick kemudian membagi penggunaan istilah demokrasi ke dalam empat pembabakan sejarah yang uraiannya adalah sebagai berikut (Crick, 2003):
- Penggunaan pertama dipraktikkan di masa Yunani Kuno. Platon berpandangan bahwa demokrasi merupakan kekuasaan orang-orang tidak terdidik yang sekaligus mengabaikan kemampuan mereka yang terdidik dan berpengetahuan. Sejalan dengan Platon, Aristoteles menganggap bahwa tipe pemerintahan yang baik adalah kekuasaan oleh beberapa orang yang memiliki keutamaan (arete) yang disebutnya sebagai aristokrasi. Meski menggolongkan demokrasi sebagai tipe pemerintahan yang menyimpang (deviant), Aristoteles memiliki poin menarik dalam buku III Politics bab 11 yang menyebutkan bahwa orang banyak bisa jadi lebih baik daripada orang sedikit jika orang banyak tersebut bersatu dan tampil bersama-sama. Orang banyak ini, meski secara individu kemampuannya lebih inferior ketimbang mereka yang sedikit, berpeluang untuk menghasilkan “kebijaksanaan dari banyak orang” (the wisdom of the multitude).
- Penggunaan kedua tentang konsep demokrasi dilakukan pada republik Romawi, pada teks Niccolo Machiavelli yang berjudul Discourses on Livy (1531), Republik Inggris dan Belanda pada abad ke-17, dan Republik Amerika Serikat awal-awal. Demokrasi yang dirumuskan pada beraneka gagasan tersebut bermuara pada sebuah pengertian bahwa pendapat orang banyak pada akhirnya bertujuan untuk memberi kekuatan besar bagi negara. Dalam konsep demokrasi semacam ini, terdapat kepercayaan besar terhadap warga negara sebagai subjek aktif yang berkehendak dan memberi pendapat, tetapi di sisi lain, berkembang pandangan bahwa negara yang kuat adalah negara yang mendapat kepercayaan dari rakyatnya. Di sinilah bibit patriotisme muncul, yang melihat bahwa tentara yang berasal dari rakyat sendiri akan lebih mati-matian membela negerinya ketimbang tentara bayaran yang direkrut secara profesional.
- Penggunaan ketiga dapat dilacak pada masa Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 dan teks-teks yang ditulis oleh Jean-Jacques Rousseau. Demokrasi dalam hal ini merupakan gagasan yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat dan mengungkapkan kehendak, selama berkaitan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan kepentingan umum dan kesejahteraan bersama. Landasan dari demokrasi ini bukanlah intelektualitas, melainkan nurani yang jernih, yang mengabaikan keegoisan individu dalam memikirkan kepentingannya sendiri. Dengan demikian, demokrasi menjadi berkaitan dengan pembebasan suatu kelas atau bangsa, tetapi tidak selalu kompatibel dengan kebebasan individu.
- Penggunaan keempat konsep demokrasi dapat dilacak pada konstitusi Amerika Serikat, sejumlah konstitusi Eropa pada abad ke-19, konstitusi Jerman Barat dan Jepang pasca Perang Dunia II, dan juga dalam teks-teks yang ditulis oleh John Stuart Mill dan Alexis de Tocqueville. Dalam pandangan ini, setiap orang dapat berpartisipasi dalam demokrasi, tetapi harus saling menghormati hak-hak dari sesama warga negara dalam sebuah aturan yang mengatur, melindungi, dan membatasi hak-hak tersebut. Artinya, demokrasi semacam ini, yang kerap disebut juga sebagai demokrasi modern, adalah usaha penggabungan antara gagasan tentang kekuasaan rakyat dan gagasan tentang hak-hak individu yang dijamin oleh hukum.
(bersambung)
Comments
Post a Comment