Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Memotret Wellington: Paradoks Kota Antara yang Asing dan Bahagia

Memotret Wellington: Paradoks Kota Antara yang Asing dan Bahagia (Tulisan kuratorial untuk pameran fotografi virtual Barmen Simatupang)

Hal menarik dari perkotaan mungkin adalah ini: apapun yang kita katakan sebagai esensi sebuah kota, hal sebaliknya juga adalah benar. Artinya, kota bisa jadi adalah sesuatu yang tanpa esensi atau esensi dari perkotaan adalah serba paradoksnya. Jika kita katakan Jakarta sebagai kota yang megah dengan segala gedung tingginya, maka di waktu yang bersamaan, Jakarta juga benar jika kita katakan sebagai kota yang kumuh dengan segala bangunan rentan semi-permanen. Jika kita katakan Bandung sebagai kota yang cantik dengan segala taman kota dan citra Paris van Java-nya, Bandung juga benar jika kita katakan sebagai kota yang kian sesak tanpa diimbangi oleh penambahan infrastruktur.

Demikian halnya dalam konteks fotografi jalanan (perkotaan) yang dilakukan oleh Barmen Simatupang di Wellington, Selandia Baru. Dari foto ke foto, perasaan kita akan bercampur aduk karena beraneka representasi yang nampak tidak memiliki benang merah: dari mulai suasana pedesaan, kucing artifisial di tangga, orang bermain skateboard, hingga laki-laki dengan gaun biru dan wig pirang. Demikianlah mungkin cara kita membaca perkotaan: tanpa esensi, tanpa satu gagasan yang dianggap kunci untuk memahami keseluruhan. Wellington adalah keseluruhannya dari apa yang disebutkan ini: windy welly, wellywood, Te Whanganui-a-Tara, tempatnya orang-orang Māori, dan ibukota di posisi paling selatan di dunia.

Namun bagaimanapun, fotografer adalah juga manusia dengan segala subjektivitasnya. Barmen, yang menyebut sendiri keberadaannya di Wellington sebagai sesuatu yang penuh berkah dan patut disyukuri, menjadikan kota ini sebagai arena bermain. Terbayang bagaimana ia berjalan-jalan sambil tetap berjaga-jaga, mengantisipasi akan ada kejutan apa yang dihadirkan oleh kota ini, untuk kemudian diabadikan. Semuanya dibayangkan dalam suatu kegembiraan, sebagai penghargaan terhadap momentum itu sendiri. Barmen mungkin berhasil menyimpan momen dalam memori kameranya, tapi kenangan terindah tetap mengendap dalam memori tubuhnya.

Sebuah kota tetaplah sebuah kota. Kota dengan segala keterasingan dan keterpaksaan untuk mengisi batin secara artifisial (lewat hiburan dan kegiatan-kegiatan kultural). Meski Barmen mengatakan bahwa ini adalah kota yang damai dan menyenangkan, ia tetap tidak yakin bahwa jauh di kedalaman batinnya, orang-orang di Wellington ini berbahagia. Terlalu rumit untuk menelaah kebahagiaan orang lain di negeri orang, tetapi hal yang lebih penting di sini adalah posisi Barmen yang agak berbeda dengan saat ia memotret Ijen - di Ijen, Barmen harus tenggelam dan berempati -.

Di Wellington, Barmen mengakrabi kota, menyusuri jalan-jalan kecil di atas bukit, berdialog bersama warga, melebur bersama keseharian, tetapi tidak harus sampai “menjadi”. Ia tetap orang asing di tengah kota yang asing dengan segala keterasingannya. Justru agar berbahagia, penting baginya untuk tetap menghidupi tegangan (antara warga dan bukan warga).

kuratorial

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...