Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Setelah menikah, saya bermukim di Margahayu Raya. Rumah ini tidak asing sama sekali. Ini adalah rumah tempat saya menghabiskan masa kecil hingga sekitar kelas 4 SD sebelum pindah ke Rebana, daerah Buah Batu. Ini adalah rumah yang dulu saya seringkali malu jika harus menyebutkan dimana letaknya, karena terhitung sukar dijangkau dan agak-agak pinggiran.
Namun rupanya Margahayu Raya kini reputasinya tidak lagi pinggiran. Bukan berarti lokasinya menjadi bergeser, melainkan apa yang dinamakan 'kota' itu sendiri terus menerus memperluas dirinya. Yang dinamakan kota, dari tadinya sebatas Alun-Alun, Braga, Dago, atau daerah-daerah di utara rel kereta, sekarang memasuki wilayah selatan. Kota bukanlah sebuah wilayah, melainkan akses dan fasilitas. Margahayu Raya dulu dinamai pinggiran karena aksesnya yang sulit plus fasilitas yang terbatas.
Akan saya ceritakan bagaimana kami sedemikian dimudahkannya oleh fasilitas. Mau masak, tukang sayur hanya berjarak tiga menit jalan kaki. Waktu tempuh yang sama bisa diterapkan jika kami malas masak dan memilih membeli. Berjejer tukang sate, bubur ayam nasi goreng, baso, mie ayam, kupat tahu, dan lain sebagainya yang kamu tinggal sebut saja. Soal Alfamart, Indomart, dan toko-toko semacamnya juga ada dalam radius yang terlalu-membuang-buang-waktu-jika-menggunakan-mobil. Warnet, fitness centre, ATM, tukang fotokopi hingga reparasi komputer semua bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Sungguh ini adalah sebuah wilayah perumahan yang ideal!
Namun ketika seluruh fasilitas memadai, yang menjadi prasyarat wajib adalah tinggal soal uang. Karena apalah arti fasilitas, selain daripada ia memudahkan kita untuk tidak perlu berhubungan dengan banyak orang. Maksudnya, fasilitas diadakan agar kita bisa self-service. Mari membayangkan sistem barter, sistem kekeluargaan, atau bahkan perdagangan pasar sekalipun, bisa jadi punya nilai tukar di dalamnya, namun diselingi terlalu banyak basa-basi. Tatapan wajah ke wajah tidak selamanya menyenangkan. Lebih baik berjalan sendirian tapi semua kebutuhan terpenuhi. Syaratnya sekali lagi: uang. Dengan uang, kamu bisa seperti kata tokoh David Kleinfeld dalam film Carlito's Way: Save your own ass! Itulah sebabnya, saya belum bisa atau mau bertetangga secara akrab. Karena tugas saya sebagai penduduk kota yang taat adalah mencari uang agar bisa selamat. Nanti, kalau sudah banyak uang, baru bersosialisasi sebagai bentuk kebutuhan tersier. Kebutuhan yang barangkali lebih mewah daripada internet cepat ataupun alat pijat kaki.
Pikiran-pikiran semacam itu segera buyar dari kepala, atau setidaknya dicoba dibuyarkan meski sangat bertentangan dengan logika perkotaan. Apa sebabnya? Karena meski dengan fasilitas yang sudah sangat mumpuni, bau masa kecil saya tetap menyeruak tiba-tiba di waktu yang tidak pernah terduga. Selalu, ingatan tentang masa kecil membuat dunia ini menjadi tidak seburuk kelihatannya.
Comments
Post a Comment