Skip to main content

Posts

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
Recent posts

Komentar atas Madilog (Bab Logika Mistika)

    Demikianlah firman Maha Dewa Rah: Ptah: maka timbullah bumi dan langit. Ptah: maka timbullah bintang dan udara. Ptah: maka timbullah Sungai Nil dan daratan. Ptah: maka timbullah tanah subur dan gurun. Jika saya silap mencatat (di luar kepala) firman Maha Dewa Rah itu, maka silapnya itu tak akan beberapa. Tetapi saya pikir maknanya sudah tersimpul pada catatan di atas ini. Firman Maha Dewa Rah sudah tentu banyak juga kawannya di dunia sekarang. Firman Maha Dewa Rah sudah cukup memberi gambaran tentang Logika Mistika, atau logika yang berdasarkan rohani. Bagian ini memperlihatkan bagaimana Tan Malaka menjelaskan apa yang ia sebut sebagai Logika Mistika, sebuah cara berpikir yang mendasarkan penjelasan dunia pada kekuatan rohani atau supranatural. Ia mencontohkannya melalui kepercayaan pada Dewa Rah dalam kebudayaan Mesir Kuno. Tan Malaka juga sekaligus hendak menunjukkan bahwa Logika Mistika bukanlah hal asing atau terbatas pada satu peradaban, melainkan suatu pola berpik...

Komentar atas Madilog (Bab Pendahuluan)

Mokojobi, 15-6-2602. tanggal opisil kini, waktu saya menulis “Madilog’’. Dalam perhitungan “tuan’’ yang sekarang sedang jatuh dari tahta pemerintahan Indonesia itu bersamaan dengan Donderdag Juli 15, 1942. Murid bangsa Indonesia yang bersekolah Arab dekat tempat saya menulis ini, menarikkan pada hari kamis, bulan Radjab 30, 1362. Semua itu memberi gambaran, bahwa Indonesia sebenarnya belum bertanggal berumur sendiri. Indonesia tulen belum timbul dari tenggelamnya berabad-abad itu. Bagian pendahuluan Madilog menunjukkan bagaimana Tan Malaka menulis dengan kesadaran simbolik tentang keadaan bangsa yang belum merdeka. Ia menuliskan tanggal menurut tiga sistem yaitu Jepang, Eropa (Gregorian), dan Hijriah untuk menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki “waktu” dan identitasnya sendiri. Artinya, bangsa ini belum berdiri sebagai subjek sejarah yang otonom; masih bergantung pada sistem dan penanggalan asing. Dengan cara ini, Tan Malaka menyindir kondisi kolonial dan menggugah kesadaran tent...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Yang Tuna Nada, Yang Berjaya

(artikel diturunkan dari Pop Hari Ini )    Media sosial adalah tempat orang bisa mengunggah konten apapun untuk dikonsumsi publik. Meski demikian, konten-konten tertentu, yang mengganggu kenyamanan pandangan, sadis, bikin eneg dan risih, tentu bisa dilaporkan ramai-ramai untuk kemudian dihapus oleh admin media sosial. Nah, tapi kenapa yang kerap dilaporkan dan diturunkan itu hanya hal-hal yang mengganggu pandangan mata? Bagaimana dengan konten yang mengganggu pendengaran alias bikin telinga tidak nyaman? Rasanya jarang orang melakukan report ramai-ramai hanya karena mereka tidak suka pada aspek audio dari suatu konten. Alasannya mungkin sederhana: Kalau tidak suka suaranya, tinggal di- skip saja kontennya, atau di- mute saja audionya. Menariknya, alasan yang sama belum tentu bisa diterapkan pada konten visual (hal yang mengganggu mata kadangkala tidak hanya di- skip , tapi juga sekaligus di- report ).  Salah satu conton konten yang mengganggu pendengaran adalah orang m...

Musik Latar di Kafe: Gangguan Menyenangkan dan Pemecah Keheningan

(artikel diturunkan dari Pop Hari Ini )  Sebagai orang yang mencari nafkah dari menulis, faktor suasana merupakan hal yang krusial dalam membangun mood agar bisa menuangkan kata-kata ke dalam tulisan dengan lancar. Atas dasar itu, saya sering mencari kafe yang nyaman dengan pertimbangan tidak hanya makanan dan kopinya yang enak ataupun suasananya yang tenang, melainkan juga musik apa yang biasa diputar. Musik ini, bagi saya, sangat mempengaruhi mood dan konsentrasi.  Kafe yang memutar musik populer seperti misalnya Tulus atau Adhitia Sofyan tentu bagus dan membuat suasana menjadi hidup. Namun hati-hati dengan popularitas sebuah lagu, yang bisa jadi malah menghanyutkan kita untuk ikut bernyanyi, alih-alih berkonsentrasi memeras gagasan. Menulis melibatkan proses berpikir dan proses berpikir tidak jarang dilakukan dengan cara “berdialog dengan diri sendiri”. Bagaimana mungkin bisa berdialog dengan lancar jika ada “gangguan menyenangkan” berupa nyanyian misalnya: “ Ku percaya s...

Obituari untuk Dwi Cahya Yuniman

Berita wafatnya Dwi Cahya Yuniman, yang akrab kami panggil Mas Niman, pada Senin sore, 15 September 2025, datang seperti petir di siang bolong. Begitu mendadak, begitu tak terduga. Pagi harinya ia masih sempat menuliskan ucapan selamat ulang tahun kepada seorang sahabat di grup, seakan memberi tanda kecil bahwa ia tetap hadir, sebelum akhirnya berpamitan untuk selamanya.  Bagi banyak orang, Mas Niman bukan sekadar seorang pecinta musik. Ia adalah pusat gravitasi, sosok yang dengan caranya yang sederhana tapi penuh semangat berhasil mengikat orang-orang dalam lingkaran jazz yang hangat. Saya sendiri pertama kali mengenalnya lebih dari dua dekade lalu, di Common Room. Saat itu, Klab Jazz, komunitas yang didirikannya, tengah menyiapkan konser JazzAid: Jazz untuk Korban Tsunami. Dalam kesempatan itu, saya dan beberapa kawan diperkenalkan pada sebuah nama baru: KlabKlassik.  Kami tampil dengan gitar klasik berempat. Formatnya agak janggal. Bukan ansambel, melainkan solo bergantian....