Skip to main content

Posts

Bahasa

Bahasa, jika dilihat dari permukaan, hanyalah rangkaian bunyi yang keluar dari pita suara. Ia bisa diurai secara teknis: getaran udara, fonem yang diatur dalam sintaks, lalu dirangkai menjadi kalimat. Di atas kertas, bahasa tampak seperti alfabet yang disusun rapi, sebuah kode yang bisa dibaca dan diterjemahkan. Tetapi siapa yang bisa menyangkal bahwa bahasa jauh melampaui sekadar bunyi dan huruf?  Melalui bahasa, aku bisa merawat relasi—mengatakan "aku mencintaimu" yang menumbuhkan rasa hangat dalam dada orang lain. Dengan bahasa pula aku bisa menghancurkan relasi, cukup dengan sebuah kalimat pedas, sebuah fitnah, atau sebuah diam yang disengaja. Bahasa bisa menjadi obat: menenangkan yang resah, menuntun yang hilang arah. Tapi bahasa juga bisa menjadi racun: menusuk yang rapuh, meninggalkan luka yang terus berdarah meski tak terlihat.  Bahasa bukan hanya medium komunikasi, melainkan medium kekuasaan. Lewat bahasa, aku bisa memerintah dan diperintah. Lewat bahasa, orang-orang...
Recent posts

Tubuh yang Menua

Menjelang usia empat puluh, tubuh mulai memberi tanda-tanda kecil yang tak bisa lagi diabaikan. Stamina tak lagi sama seperti dulu: langkah terasa lebih berat, tidur yang dulu cukup empat jam kini tak lagi memadai, dan sakit-sakit kecil yang dulu hanya datang sesekali kini mulai menjadi pengunjung tetap. Rasa letih kadang datang bahkan sebelum pekerjaan benar-benar dimulai. Gairah untuk mengejar segala hal juga sudah tidak setajam masa dua puluhan; ada semacam jarak yang terbentuk, antara keinginan yang berlimpah dengan kemampuan tubuh yang kian terbatas.  Pada titik ini, kita mulai belajar tentang melepaskan. Melepaskan hal-hal yang tak bisa lagi dipaksakan. Melepaskan mimpi-mimpi yang dulu mungkin terlampau besar, tetapi kini harus disesuaikan dengan kenyataan. Melepaskan gengsi, ambisi, bahkan beberapa orang yang tidak lagi sejalan. Proses menua, dengan demikian, adalah proses perelahan: ikhlas satu demi satu, seperti daun yang jatuh dari pohon, tanpa penyesalan, hanya mengikuti...

Cemburu

Partner saya hampir tidak pernah menunjukkan rasa cemburu. Aneh memang, kadang hal itu terasa menyenangkan, tapi di sisi lain juga sedikit mengesalkan. Saya jadi berpikir ulang: sebenarnya apa dasar dari perasaan cemburu? Menurut saya, cemburu pada dasarnya lahir dari pengalaman diperlakukan tidak adil. Selama seseorang merasa dirinya diperlakukan secara adil, rasa cemburu seharusnya tidak muncul. Masalahnya, standar “adil” itu tidak pernah universal. Ada kalanya adil berarti perhatian yang dibagi rata, ada kalanya adil berarti eksklusivitas penuh, ada juga yang menoleransi berbagai ruang kebebasan selama kebutuhan dasar emosinya terpenuhi.  Partner saya, misalnya, tidak akan merasa cemburu hanya karena saya ngobrol atau bertemu dengan orang lain. Tetapi situasi berubah ketika perhatian saya mulai condong secara signifikan ke luar—misalnya saya memberi banyak waktu, energi, bahkan sampai memberi hadiah pada orang lain. Hal itu berimplikasi pada berkurangnya perhatian saya kepada di...

Psikiatri

Beberapa bulan terakhir, saya mulai berobat ke psikiater. Alasannya sederhana, tapi cukup mengganggu: tidur saya tidak lagi normal. Dalam semalam, saya hanya bisa terpejam dua atau tiga jam, dan selebihnya hanyalah rebahan dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana. Kondisi itu perlahan menggerogoti stamina, membuat tubuh rapuh, dan emosi menjadi semakin tidak stabil.  Saya akhirnya memeriksakan diri ke psikiater di RS Imanuel. Setelah beberapa kali sesi, kesimpulannya adalah saya mengalami depresi, meskipun tidak sampai pada tahap akut. Dokter memberi saya obat, dan perlahan tidur saya mulai lebih teratur. Selain itu, saya juga memiliki kecenderungan gangguan kecemasan dan emosi yang meledak-ledak. Obat-obatan itu, yang sebelumnya saya pandang dengan was-was, ternyata benar-benar membantu saya lebih kalem, menurunkan intensitas badai kecil di kepala saya.  Dari pengalaman itu, saya mulai merenungkan sesuatu. Apa yang sering disebut sebagai “gejolak estetis” atau “inspirasi fi...

Monogami Inklusif

Saya dan NK menjalani sebuah bentuk relasi yang kami sebut sebagai monogami inklusif. Pada dasarnya, hubungan kami berakar pada komitmen monogami—saling mengasihi, merawat hidup satu sama lain, dan menempatkan pasangan sebagai rumah utama dalam perjalanan kehidupan. Namun, kami memberi ruang tertentu di mana masing-masing diperbolehkan untuk berkencan dengan orang lain. Ruang ini bukan berarti membuka ikatan begitu saja, melainkan dirancang dengan kesadaran, aturan, dan saling pengertian. Dalam praktiknya, ada sejumlah syarat yang menjadi pegangan kami. Prinsip pertama adalah keterbukaan: setiap orang yang terlibat dalam relasi ini harus mengetahui keberadaan pihak lain. Tidak ada ruang untuk sembunyi-sembunyi, karena justru kejujuran adalah fondasi yang membuat relasi ini sehat. Kedua, kami menjaga batas-batas. Artinya, meski diperbolehkan berkencan, ada garis yang tidak boleh dilanggar, baik secara emosional maupun fisik, sesuai dengan kesepakatan yang kami bangun bersama. Ketiga, ka...

Permainan

Sepakbola, basket, tenis, dan olahraga lainnya pada dasarnya adalah sebuah permainan. Ada bola, ada lapangan, ada aturan sederhana yang memungkinkan manusia bergerak, tertawa, berkeringat, dan merasa gembira. Tanpa kompetisi, olahraga itu hanyalah kegiatan penuh kesenangan, bagian dari naluri bermain manusia sejak kecil. Kita bisa membayangkan sekelompok anak yang menendang kaleng kosong di jalanan kampung, atau melempar bola kertas di kelas. Semua itu tidak membutuhkan piala, tidak ada klasemen, tidak ada tekanan untuk menjadi yang terbaik. Yang ada hanya tawa, teriakan, dan perasaan “asyik” saat tubuh bergerak bersama bola.  Namun ketika permainan itu berubah menjadi pertandingan resmi, atmosfernya berubah total. Bola yang tadinya sekadar benda untuk bersenang-senang menjadi sesuatu yang diperebutkan dengan serius. Pemain menampilkan wajah penuh konsentrasi, pelatih sibuk berteriak memberi instruksi, penonton menaruh harapan besar, sponsor menghitung keuntungan, dan media menyoro...

Seratus Persen (?)

Adakah orang yang benar-benar seratus persen sejalan antara ideologi yang diyakininya dan laku hidupnya di dunia nyata? Pertanyaan ini sekilas sederhana, tapi jika ditelaah lebih dalam, ternyata jawabannya nyaris selalu "tidak". Ideologi, filsafat hidup, atau sistem pemikiran yang kita kagumi sering tampil sebagai horizon yang jauh: indah, konsisten, dan kokoh di ranah gagasan. Tetapi hidup sehari-hari selalu datang dengan kerumitan, kompromi, dan keterikatan yang membuat garis lurus antara ide dan laku menjadi mustahil.  Bahkan dalam tradisi filsafat yang keras sekalipun, kita bisa menemukan retakan itu. Max Stirner, misalnya, dengan egoisme radikalnya dalam The Ego and Its Own , sering digambarkan sebagai sosok anarko-individualis yang menolak segala bentuk otoritas. Tetapi pada kenyataannya, ia tetap pernah tunduk pada sistem kampus, mengikuti mekanisme sosial yang di atas kertas mestinya ia tolak. Pierre-Joseph Proudhon, tokoh anarkisme yang terkenal dengan semboyan “ Pr...