Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Menjelang usia empat puluh, tubuh mulai memberi tanda-tanda kecil yang tak bisa lagi diabaikan. Stamina tak lagi sama seperti dulu: langkah terasa lebih berat, tidur yang dulu cukup empat jam kini tak lagi memadai, dan sakit-sakit kecil yang dulu hanya datang sesekali kini mulai menjadi pengunjung tetap. Rasa letih kadang datang bahkan sebelum pekerjaan benar-benar dimulai. Gairah untuk mengejar segala hal juga sudah tidak setajam masa dua puluhan; ada semacam jarak yang terbentuk, antara keinginan yang berlimpah dengan kemampuan tubuh yang kian terbatas.
Pada titik ini, kita mulai belajar tentang melepaskan. Melepaskan hal-hal yang tak bisa lagi dipaksakan. Melepaskan mimpi-mimpi yang dulu mungkin terlampau besar, tetapi kini harus disesuaikan dengan kenyataan. Melepaskan gengsi, ambisi, bahkan beberapa orang yang tidak lagi sejalan. Proses menua, dengan demikian, adalah proses perelahan: ikhlas satu demi satu, seperti daun yang jatuh dari pohon, tanpa penyesalan, hanya mengikuti musim.
Namun pertanyaannya, apa artinya menua di dunia modern yang terus mengagungkan “muda”? Dunia yang setiap hari memuja kulit kencang, energi yang melimpah, tubuh yang ramping dan ideal, wajah tanpa keriput. Dunia yang memproduksi industri anti-aging, seolah penuaan adalah musuh besar yang harus dilawan habis-habisan. Padahal, menua adalah proses paling natural yang dimiliki manusia. Ia bukan aib, bukan kekalahan, melainkan kepastian.
Di hadapan logika kapitalisme modern, tua adalah beban. Tetapi di hadapan kebijaksanaan, tua adalah ruang baru. Ruang untuk lebih tenang, lebih selektif, dan lebih dalam dalam menjalani hidup. Jika masa muda adalah tentang berlari, masa tua adalah tentang berjalan perlahan sambil menikmati lanskap di sekeliling.
Di sini saya teringat Siddharta. Dalam kisah perjalanan batinnya, Siddharta baru benar-benar matang ketika ia berhenti melawan dunia, berhenti menganggap tubuh dan bumi ini sebagai beban yang harus ditanggalkan. Siddharta yang matang bukan lagi seorang pengembara yang mencari, melainkan seseorang yang “menerima bumi”—menerima daging, sakit, usia, kehilangan, dan kefanaan, sebagai bagian dari kehidupan yang utuh. Ada kedamaian yang lahir dari penerimaan itu: tubuh yang menua bukan lagi musuh, melainkan sahabat yang menunjukkan jalan pulang.
Mungkin itu artinya menua: bukan lagi soal mengejar dunia, melainkan memberi ruang agar dunia yang datang bisa diterima dengan lapang dada. Seperti Siddharta, kita belajar mencintai bumi yang melekat pada tubuh kita sendiri—dengan segala kelemahan, keriput, dan keterbatasannya. Dalam penerimaan itu, ada kebijaksanaan yang jauh lebih dalam daripada keabadian semu yang dijanjikan oleh “serum anti-aging”.
Comments
Post a Comment