Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
Menjelang usia empat puluh, tubuh mulai memberi tanda-tanda kecil yang tak bisa lagi diabaikan. Stamina tak lagi sama seperti dulu: langkah terasa lebih berat, tidur yang dulu cukup empat jam kini tak lagi memadai, dan sakit-sakit kecil yang dulu hanya datang sesekali kini mulai menjadi pengunjung tetap. Rasa letih kadang datang bahkan sebelum pekerjaan benar-benar dimulai. Gairah untuk mengejar segala hal juga sudah tidak setajam masa dua puluhan; ada semacam jarak yang terbentuk, antara keinginan yang berlimpah dengan kemampuan tubuh yang kian terbatas.
Pada titik ini, kita mulai belajar tentang melepaskan. Melepaskan hal-hal yang tak bisa lagi dipaksakan. Melepaskan mimpi-mimpi yang dulu mungkin terlampau besar, tetapi kini harus disesuaikan dengan kenyataan. Melepaskan gengsi, ambisi, bahkan beberapa orang yang tidak lagi sejalan. Proses menua, dengan demikian, adalah proses perelahan: ikhlas satu demi satu, seperti daun yang jatuh dari pohon, tanpa penyesalan, hanya mengikuti musim.
Namun pertanyaannya, apa artinya menua di dunia modern yang terus mengagungkan “muda”? Dunia yang setiap hari memuja kulit kencang, energi yang melimpah, tubuh yang ramping dan ideal, wajah tanpa keriput. Dunia yang memproduksi industri anti-aging, seolah penuaan adalah musuh besar yang harus dilawan habis-habisan. Padahal, menua adalah proses paling natural yang dimiliki manusia. Ia bukan aib, bukan kekalahan, melainkan kepastian.
Di hadapan logika kapitalisme modern, tua adalah beban. Tetapi di hadapan kebijaksanaan, tua adalah ruang baru. Ruang untuk lebih tenang, lebih selektif, dan lebih dalam dalam menjalani hidup. Jika masa muda adalah tentang berlari, masa tua adalah tentang berjalan perlahan sambil menikmati lanskap di sekeliling.
Di sini saya teringat Siddharta. Dalam kisah perjalanan batinnya, Siddharta baru benar-benar matang ketika ia berhenti melawan dunia, berhenti menganggap tubuh dan bumi ini sebagai beban yang harus ditanggalkan. Siddharta yang matang bukan lagi seorang pengembara yang mencari, melainkan seseorang yang “menerima bumi”—menerima daging, sakit, usia, kehilangan, dan kefanaan, sebagai bagian dari kehidupan yang utuh. Ada kedamaian yang lahir dari penerimaan itu: tubuh yang menua bukan lagi musuh, melainkan sahabat yang menunjukkan jalan pulang.
Mungkin itu artinya menua: bukan lagi soal mengejar dunia, melainkan memberi ruang agar dunia yang datang bisa diterima dengan lapang dada. Seperti Siddharta, kita belajar mencintai bumi yang melekat pada tubuh kita sendiri—dengan segala kelemahan, keriput, dan keterbatasannya. Dalam penerimaan itu, ada kebijaksanaan yang jauh lebih dalam daripada keabadian semu yang dijanjikan oleh “serum anti-aging”.
.png)
Comments
Post a Comment