Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Beberapa bulan terakhir, saya mulai berobat ke psikiater. Alasannya sederhana, tapi cukup mengganggu: tidur saya tidak lagi normal. Dalam semalam, saya hanya bisa terpejam dua atau tiga jam, dan selebihnya hanyalah rebahan dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana. Kondisi itu perlahan menggerogoti stamina, membuat tubuh rapuh, dan emosi menjadi semakin tidak stabil.
Saya akhirnya memeriksakan diri ke psikiater di RS Imanuel. Setelah beberapa kali sesi, kesimpulannya adalah saya mengalami depresi, meskipun tidak sampai pada tahap akut. Dokter memberi saya obat, dan perlahan tidur saya mulai lebih teratur. Selain itu, saya juga memiliki kecenderungan gangguan kecemasan dan emosi yang meledak-ledak. Obat-obatan itu, yang sebelumnya saya pandang dengan was-was, ternyata benar-benar membantu saya lebih kalem, menurunkan intensitas badai kecil di kepala saya.
Dari pengalaman itu, saya mulai merenungkan sesuatu. Apa yang sering disebut sebagai “gejolak estetis” atau “inspirasi filosofis”—yang konon melahirkan karya-karya agung seniman dan filsuf—mungkin saja tidak lebih dari gejala gangguan jiwa yang diromantisasi. Ledakan emosi, mood swing, perasaan terasing, atau mendadak ingin menyendiri—semua itu dalam bahasa seni bisa disebut “momen inspirasi”, tapi dalam bahasa psikiatri bisa didiagnosis sebagai depresi, kecemasan, atau bahkan gangguan afektif.
Pertanyaan pun muncul: jika para filsuf atau seniman yang kita kenal itu diberi obat psikiatri, apakah karya-karya mereka masih akan lahir? Apakah Nietzsche, Kafka, atau Van Gogh, jika tidur mereka teratur dan emosinya tenang, akan tetap menuliskan ide-ide dan melahirkan karya seperti yang kita kenal sekarang? Ataukah justru mereka akan duduk kalem di pojokan, tidak lagi dirundung gejolak, dan akhirnya karya-karya itu tidak pernah ada?
Sebaliknya, mungkin justru dengan intervensi medis, karya mereka bisa lebih jernih, lebih terstruktur, dan lebih mudah diakses tanpa harus menanggung penderitaan berkepanjangan. Barangkali, tanpa luka batin pun, manusia tetap bisa menciptakan hal-hal indah—hanya dengan cara yang lebih sehat.
Psikiatri, dengan segala stigma yang masih melekat padanya, akhirnya bagi saya bukan hanya soal menyembuhkan. Ia juga menjadi cermin untuk meninjau ulang relasi antara sakit, kreativitas, dan romantisasi penderitaan. Apakah benar penderitaan adalah syarat lahirnya karya? Ataukah itu hanya mitos yang kita rawat terlalu lama?
Comments
Post a Comment