Bahasa, jika dilihat dari permukaan, hanyalah rangkaian bunyi yang keluar dari pita suara. Ia bisa diurai secara teknis: getaran udara, fonem yang diatur dalam sintaks, lalu dirangkai menjadi kalimat. Di atas kertas, bahasa tampak seperti alfabet yang disusun rapi, sebuah kode yang bisa dibaca dan diterjemahkan. Tetapi siapa yang bisa menyangkal bahwa bahasa jauh melampaui sekadar bunyi dan huruf? Melalui bahasa, aku bisa merawat relasi—mengatakan "aku mencintaimu" yang menumbuhkan rasa hangat dalam dada orang lain. Dengan bahasa pula aku bisa menghancurkan relasi, cukup dengan sebuah kalimat pedas, sebuah fitnah, atau sebuah diam yang disengaja. Bahasa bisa menjadi obat: menenangkan yang resah, menuntun yang hilang arah. Tapi bahasa juga bisa menjadi racun: menusuk yang rapuh, meninggalkan luka yang terus berdarah meski tak terlihat. Bahasa bukan hanya medium komunikasi, melainkan medium kekuasaan. Lewat bahasa, aku bisa memerintah dan diperintah. Lewat bahasa, orang-orang...
Bahasa, jika dilihat dari permukaan, hanyalah rangkaian bunyi yang keluar dari pita suara. Ia bisa diurai secara teknis: getaran udara, fonem yang diatur dalam sintaks, lalu dirangkai menjadi kalimat. Di atas kertas, bahasa tampak seperti alfabet yang disusun rapi, sebuah kode yang bisa dibaca dan diterjemahkan. Tetapi siapa yang bisa menyangkal bahwa bahasa jauh melampaui sekadar bunyi dan huruf?
Melalui bahasa, aku bisa merawat relasi—mengatakan "aku mencintaimu" yang menumbuhkan rasa hangat dalam dada orang lain. Dengan bahasa pula aku bisa menghancurkan relasi, cukup dengan sebuah kalimat pedas, sebuah fitnah, atau sebuah diam yang disengaja. Bahasa bisa menjadi obat: menenangkan yang resah, menuntun yang hilang arah. Tapi bahasa juga bisa menjadi racun: menusuk yang rapuh, meninggalkan luka yang terus berdarah meski tak terlihat.
Bahasa bukan hanya medium komunikasi, melainkan medium kekuasaan. Lewat bahasa, aku bisa memerintah dan diperintah. Lewat bahasa, orang-orang menikah dan bercerai, berjanji setia lalu melanggarnya. Bahasa mengatur hidup sosial, memberi tanda kapan sebuah tindakan sah atau batal, benar atau salah. Dalam diamnya teks hukum atau lembutnya doa, bahasa punya kuasa yang tak bisa ditandingi.
Namun pertanyaannya tetap: apa gerangan bahasa itu sebenarnya? Wittgenstein pernah berkata, batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku. Artinya, bahasa bukan hanya alat untuk menggambarkan realitas, tetapi juga cermin yang membatasi apa yang bisa kita pahami. Heidegger bahkan lebih jauh: bahasa adalah rumah bagi Ada. Manusia tinggal di dalam bahasa seperti ikan dalam air—tak bisa keluar darinya, sekaligus tak sepenuhnya sadar akan medium yang melingkupinya. Derrida mengingatkan kita tentang “jejak” (trace): bahwa setiap kata selalu membawa bayangan kata lain, sehingga bahasa tak pernah sepenuhnya hadir, selalu menunda makna yang final.
Mungkin bahasa adalah paradoks itu sendiri: ia sederhana, sekaligus tak terjelaskan. Ia teknis, sekaligus magis. Ia hadir di mulut anak kecil yang baru belajar menyebut "ibu", sekaligus di lidah filsuf yang menulis sistem metafisika. Dalam bahasa, manusia bisa saling mengerti, tapi juga bisa saling mengasingkan. Bahasa adalah rumah, sekaligus labirin.
Comments
Post a Comment