Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2025

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Monogami Inklusif

Saya dan NK menjalani sebuah bentuk relasi yang kami sebut sebagai monogami inklusif. Pada dasarnya, hubungan kami berakar pada komitmen monogami—saling mengasihi, merawat hidup satu sama lain, dan menempatkan pasangan sebagai rumah utama dalam perjalanan kehidupan. Namun, kami memberi ruang tertentu di mana masing-masing diperbolehkan untuk berkencan dengan orang lain. Ruang ini bukan berarti membuka ikatan begitu saja, melainkan dirancang dengan kesadaran, aturan, dan saling pengertian. Dalam praktiknya, ada sejumlah syarat yang menjadi pegangan kami. Prinsip pertama adalah keterbukaan: setiap orang yang terlibat dalam relasi ini harus mengetahui keberadaan pihak lain. Tidak ada ruang untuk sembunyi-sembunyi, karena justru kejujuran adalah fondasi yang membuat relasi ini sehat. Kedua, kami menjaga batas-batas. Artinya, meski diperbolehkan berkencan, ada garis yang tidak boleh dilanggar, baik secara emosional maupun fisik, sesuai dengan kesepakatan yang kami bangun bersama. Ketiga, ka...

Permainan

Sepakbola, basket, tenis, dan olahraga lainnya pada dasarnya adalah sebuah permainan. Ada bola, ada lapangan, ada aturan sederhana yang memungkinkan manusia bergerak, tertawa, berkeringat, dan merasa gembira. Tanpa kompetisi, olahraga itu hanyalah kegiatan penuh kesenangan, bagian dari naluri bermain manusia sejak kecil. Kita bisa membayangkan sekelompok anak yang menendang kaleng kosong di jalanan kampung, atau melempar bola kertas di kelas. Semua itu tidak membutuhkan piala, tidak ada klasemen, tidak ada tekanan untuk menjadi yang terbaik. Yang ada hanya tawa, teriakan, dan perasaan “asyik” saat tubuh bergerak bersama bola.  Namun ketika permainan itu berubah menjadi pertandingan resmi, atmosfernya berubah total. Bola yang tadinya sekadar benda untuk bersenang-senang menjadi sesuatu yang diperebutkan dengan serius. Pemain menampilkan wajah penuh konsentrasi, pelatih sibuk berteriak memberi instruksi, penonton menaruh harapan besar, sponsor menghitung keuntungan, dan media menyoro...

Seratus Persen (?)

Adakah orang yang benar-benar seratus persen sejalan antara ideologi yang diyakininya dan laku hidupnya di dunia nyata? Pertanyaan ini sekilas sederhana, tapi jika ditelaah lebih dalam, ternyata jawabannya nyaris selalu "tidak". Ideologi, filsafat hidup, atau sistem pemikiran yang kita kagumi sering tampil sebagai horizon yang jauh: indah, konsisten, dan kokoh di ranah gagasan. Tetapi hidup sehari-hari selalu datang dengan kerumitan, kompromi, dan keterikatan yang membuat garis lurus antara ide dan laku menjadi mustahil.  Bahkan dalam tradisi filsafat yang keras sekalipun, kita bisa menemukan retakan itu. Max Stirner, misalnya, dengan egoisme radikalnya dalam The Ego and Its Own , sering digambarkan sebagai sosok anarko-individualis yang menolak segala bentuk otoritas. Tetapi pada kenyataannya, ia tetap pernah tunduk pada sistem kampus, mengikuti mekanisme sosial yang di atas kertas mestinya ia tolak. Pierre-Joseph Proudhon, tokoh anarkisme yang terkenal dengan semboyan “ Pr...

Anglikan

Tanggal 29 Mei 2025 kemarin, saya mengikuti ibadah Gereja Anglikan yang diadakan di sebuah apartemen di kawasan Pluit. Barangkali sebagian orang akan bertanya, “Kenapa ikut ibadah?” Jawaban saya sederhana: karena saya senang mempelajari keberagaman. Selain itu, beberapa waktu lalu saya sempat diusulkan untuk mengajar di sebuah sekolah tinggi yang didirikan oleh komunitas Anglikan di Cimahi. Jadi ada semacam dorongan, bukan hanya rasa ingin tahu, tapi juga keterkaitan praktis dengan kehidupan saya belakangan ini.  Sedikit sejarah: Gereja Anglikan lahir di Inggris pada abad ke-16, ketika Raja Henry VIII berselisih dengan Paus Roma. Dari sana, lahirlah sebuah gereja yang unik, yang di satu sisi masih mempertahankan banyak tradisi Katolik, namun di sisi lain juga menyerap semangat Reformasi Protestan. Anglikanisme kemudian berkembang luas, terutama di wilayah-wilayah bekas jajahan Inggris. Kini, komunitas Anglikan ada di berbagai negara, termasuk di Indonesia, meski jumlahnya tidak ter...