Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2025

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kerja Pikiran dalam Berjudi (Suatu Peringatan)

Saya menuliskan ini bukan sebagai ajakan berjudi, melainkan justru ajakan untuk menjauhinya—dengan dalih yang sebisa mungkin rasional, bukan semata-mata karena larangan moral atau hukum agama. Berjudi memang sebuah kegiatan yang menggiurkan. Ada semacam ilusi jalan pintas: tanpa usaha keras, hanya dengan menebak atau berspekulasi, seseorang merasa bisa melipatgandakan uang yang ia miliki. Berspekulasi ini tidak banyak memerlukan keringat. Bagi sebagian orang, ia dibungkus dengan aktivitas yang tampak serius, disebut “analisis”, “strategi”, atau “perhitungan peluang”. Namun pada dasarnya yang lebih banyak bermain adalah insting, perasaan intuitif, dan dorongan untuk mencoba peruntungan. Bayangan sederhana itu selalu menempel: dengan satu tebakan tepat, uang lima puluh ribu bisa berubah menjadi seratus ribu, dua ratus lima puluh ribu, bahkan lima ratus ribu. Dan jika tebakan keliru? Ya, uang lima puluh ribu itu lenyap begitu saja. Sesimpel itu mindset yang ditanamkan perjudian.  Mas...

Fitnah

"Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan" Ungkapan ini sering dikutip, tapi mungkin jarang direnungkan sedalam-dalamnya. Baru setelah saya sendiri mengalaminya, saya bisa memahami maknanya dengan lebih nyata. Fitnah bukan sekadar kebohongan atau kabar miring; ia adalah pisau yang tak menumpahkan darah, racun yang bekerja pelan namun pasti, menghancurkan tanpa harus membunuh secara fisik.  Mengapa fitnah disebut lebih kejam daripada pembunuhan? Jika seseorang dibunuh, barangkali rasa sakit itu hanya sebentar, lalu kesadarannya lenyap—entah berpindah ke alam lain, atau hilang sama sekali. Tetapi dalam fitnah, seseorang tetap dibiarkan hidup, bahkan dipaksa terus bernapas, namun di dalam kehidupan yang berubah menjadi penjara. Ia hidup di tengah pandangan keliru orang-orang, hidup dengan stigma yang tak pernah ia pilih, hidup dengan hukuman yang tak pernah setimpal dengan perbuatannya.  Saya akhirnya tahu rasanya itu. Sejak peristiwa cancel culture setahun lalu, hidup saya berub...

Ambiguitas Syukur

Ketika sebuah kebakaran melanda lingkungan sekitar rumah, pertanyaan yang kerap muncul dari orang lain biasanya sederhana: “Bagaimana keadaanmu?” Jawaban yang spontan keluar sering kali adalah, “Alhamdulillah, tidak terdampak.” Kalimat syukur ini terdengar tulus, seolah hanya bentuk pengakuan akan keselamatan diri sendiri. Namun, jika direnungkan lebih jauh, ucapan itu juga mengandung dimensi lain yang jarang disadari: “Alhamdulillah, bukan saya yang terdampak, tetapi orang lain.” Artinya, rasa syukur yang kita lafalkan dalam situasi tersebut tidak pernah sepenuhnya murni; ia selalu parsial, terkait dengan perbedaan nasib antara kita dan orang lain.  Dalam titik ini, syukur menjadi cermin yang memperlihatkan sisi egosentris manusia—kita lega karena selamat, tetapi sekaligus menyinggung bahwa ada orang lain yang harus menanggung derita.  Lalu, apakah memang demikian cara kerja konsep syukur? Jika syukur selalu lahir dari perbandingan, bukankah itu menandakan adanya bias moral d...

Bos Terakhir

Hari ini, entah bagaimana, saya baru sadar: ini adalah hari ulang tahun cancel culture saya. Setahun lalu, tepat di tanggal ini, sebuah kehebohan di platform X meledak seperti bom kembang api—indah bagi yang menonton, tapi membakar habis hidup saya dalam hitungan hari. Rasanya aneh, lucu sekaligus getir, mengingat bagaimana dunia maya bisa begitu cepat mengubah peta hidup seseorang. Tapi tidak, saya tidak ingin membahas detail peristiwa itu. Sudahlah. Itu bab lama yang sudah saya lipat dan simpan di laci paling bawah.  Sekarang, saya menjalani kehidupan yang sama sekali baru. Kehidupan yang, sejujurnya, tidak sepenuhnya damai—terutama karena dijalani bersama pasangan saya. Kami sering bertengkar. Sering sekali. Kadang saya heran, bagaimana bisa dua orang yang begitu sering saling adu argumen masih memutuskan untuk sama-sama setiap harinya. Tapi nyatanya, kami tetap bertahan sejak memutuskan untuk bersama sekitar Desember 2024… atau mungkin September? Entahlah, saya bahkan lupa tan...

Transaksi dan Kesendirian

Sejak kena cancel, saya kemana-mana lebih sering sendiri. Atau, paling jauh, bersama kekasih saya. Lingkar sosial yang dulu luas, kini terasa seperti balon yang perlahan dikempiskan. Tidak meledak, hanya mengempis—membuat ruangnya semakin sempit, membuat saya semakin sering duduk sendirian di sudut kafe atau berjalan sendiri di tengah keramaian. Tapi yang menarik, kesendirian ini di perkotaan ternyata tak jadi masalah besar. Ada satu kunci sederhana: punya uang untuk bertransaksi.  Kehidupan kota punya logika yang aneh tapi efisien. Orang tak peduli siapa kita, atau apa yang menimpa kita di media sosial, selama kita bisa membayar. Pelayan tetap mengantar kopi tanpa komentar, kasir tetap tersenyum seadanya saat kita membeli rokok, driver tetap mengantarkan pesanan tanpa menanyakan masa lalu. Keramaian kota membuat gosip memantul cepat, tapi juga cepat hilang. Orang-orang asing itu, pada dasarnya, tidak punya alasan untuk menyimpan amarah personal terhadap kita.  Saya mulai meny...