Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Saya menuliskan ini bukan sebagai ajakan berjudi, melainkan justru ajakan untuk menjauhinya—dengan dalih yang sebisa mungkin rasional, bukan semata-mata karena larangan moral atau hukum agama. Berjudi memang sebuah kegiatan yang menggiurkan. Ada semacam ilusi jalan pintas: tanpa usaha keras, hanya dengan menebak atau berspekulasi, seseorang merasa bisa melipatgandakan uang yang ia miliki. Berspekulasi ini tidak banyak memerlukan keringat. Bagi sebagian orang, ia dibungkus dengan aktivitas yang tampak serius, disebut “analisis”, “strategi”, atau “perhitungan peluang”. Namun pada dasarnya yang lebih banyak bermain adalah insting, perasaan intuitif, dan dorongan untuk mencoba peruntungan. Bayangan sederhana itu selalu menempel: dengan satu tebakan tepat, uang lima puluh ribu bisa berubah menjadi seratus ribu, dua ratus lima puluh ribu, bahkan lima ratus ribu. Dan jika tebakan keliru? Ya, uang lima puluh ribu itu lenyap begitu saja. Sesimpel itu mindset yang ditanamkan perjudian. Mas...