Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2025

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Jejak

Usia saya tahun ini empat puluh. Angka yang, entah kenapa, membuat saya mulai memikirkan jejak. Jejak yang sudah ditinggalkan pada tanah kehidupan, tapi terutama jejak di hati orang lain. Baik atau buruk, halus atau dalam, sebagian jejak itu pasti ada. Hanya saja, siapa yang bisa memastikan bentuknya? Kita jarang benar-benar tahu, langkah mana yang menorehkan luka, dan langkah mana yang meninggalkan kesan indah.  Ada jejak yang menimbulkan marah, kecewa, bahkan dendam. Ada juga jejak yang entah bagaimana, menjadi kenangan hangat bagi seseorang. Masalahnya, kita nyaris tak pernah memegang peta yang menunjukkan di mana semua jejak itu berada. Kita berjalan, berbicara, bertindak, lalu berlalu, sementara di belakang, tanah itu merekam. Dan suatu hari, orang lain menemukan jejak kita di sana untuk lalu memutuskan apakah itu sesuatu yang layak disimpan atau dilupakan.  Tahun lalu, hidup memberi saya pelajaran keras ketika saya terseret gelombang cancel culture . Dalam badai itu, say...

Ritual

Bagi banyak orang, kata ritual langsung mengingatkan pada aktivitas keagamaan. Ada doa yang dibaca di waktu tertentu, gerakan yang diulang dengan teratur, aturan yang dijaga ketat. Semuanya dilakukan dengan tujuan yang sama: mendekatkan diri kepada Tuhan. Di baliknya, ada keyakinan bahwa disiplin tubuh akan melahirkan disiplin pikiran, dan dari keduanya akan tumbuh intensitas—komunikasi yang lebih padat dengan entitas yang kita percayai sebagai penjamin. Seolah, dengan mengulang pola yang sama setiap hari, kita sedang membangun jembatan yang kokoh antara dunia kita yang rapuh dan sesuatu yang kekal.  Tapi mengapa perlu ritual? Mengapa tidak kita lakukan saja sesekali, sesuai kondisi hati, dengan cara-cara yang kita kehendaki? Bukankah doa yang lahir dari ketulusan spontan juga sahih? Pertanyaan ini sering muncul dari orang-orang yang merasa lebih nyaman mengekspresikan iman atau harapan mereka secara bebas. Namun, jika kita jujur, suasana hati jarang setia. Ketulusan bisa menguap d...

Topeng

Kita sering mendengar cibiran tentang orang yang “bermuka dua”. Maksudnya jelas: di depan kita bersikap manis, di belakang kita mungkin berkata lain. Tapi jika dipikir-pikir, tuduhan “bermuka dua” itu meremehkan kenyataan yang lebih kompleks. Orang jarang hanya punya dua wajah. Kita punya belasan, mungkin puluhan. Setiap wajah adalah topeng yang kita kenakan untuk memenuhi tuntutan lingkungan dan kondisi sosial yang berbeda.  Topeng itu bukan selalu kebohongan, melainkan keterampilan bertahan hidup. Saat bekerja di bidang yang penuh tekanan seperti menghadapi klien yang kasar, menegosiasikan kontrak, atau memimpin tim yang sulit diatur. Dalam kondisi-kondisi demikian, kadang kita tidak bisa membawa seluruh empati dan kelembutan yang kita miliki. Terlalu banyak belas kasih di ruang yang penuh kompetisi bisa membuat kita dimanfaatkan. Sebaliknya, di rumah atau dengan orang terdekat, kita mungkin menanggalkan topeng keras itu dan mengenakan yang lebih ramah, hangat, atau rapuh.  ...

Stimulan

Bagi saya, menulis tanpa kopi dan rokok hampir mustahil. Pahit hangat kopi di lidah, kepulan asap rokok yang mengambang pelan di udara. Keduanya seperti pasangan kunci yang membuka pintu kreativitas. Tanpanya, saya sering merasa mesin pikiran berjalan lebih lambat, kalimat-kalimat tersendat, ide-ide enggan muncul. Apakah ini hanya kebiasaan? Atau sudah menjadi ketergantungan? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, hampir tidak pernah saya memulai menulis tanpa mereka di sisi.  Saya rasa setiap orang punya stimulan versinya sendiri. Ada yang tidak bisa memulai hari tanpa teh manis, ada yang butuh musik instrumental sebelum mengerjakan tugas, ada pula yang merasa perlu “ritual” kecil seperti merapikan meja, menyalakan lilin aroma terapi, atau membuka media sosial sebentar. Stimulan di sini bukan hanya soal zat atau makanan, tapi bisa berupa tindakan, suasana, bahkan benda tertentu. Ia menjadi semacam tombol “ON” bagi otak dan tubuh.  Yang menarik, kapitalisme tampaknya tidak hanya m...