Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2025

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Pantulan

Beberapa tahun lalu, saya pernah berkonsultasi ke psikolog pernikahan. Ada sofa empuk, aroma teh hangat, dan tatapan yang penuh perhatian di seberang saya. Namun yang paling membekas justru bukan nasihat panjang atau petuah bijak. Psikolog itu, ternyata, lebih seperti sebuah cermin. Ia mendengarkan dengan penuh kesabaran, menyisipkan pertanyaan-pertanyaan yang sederhana, lalu perlahan menggali lebih dalam. Tetapi apa yang ia dengar, ia tanyakan, dan ia gali, pada dasarnya hanyalah pikiran dan perasaan saya sendiri. Ia memantulkan kembali, dan saya melihat diri saya dari sudut yang berbeda.  Dari situ saya mulai bertanya-tanya: mungkinkah kehadiran orang lain seperti teman, sahabat, pasangan juga punya fungsi serupa? Kita sering mengira kita bercerita untuk memberi tahu orang lain apa yang kita alami, padahal diam-diam kita sedang berbicara kepada diri sendiri. Umpan balik mereka memang penting, tetapi inti dari percakapan itu adalah pantulan. Kata-kata kita keluar, membentur dindin...

Tentang Film Porno

Film porno adalah topik yang tak pernah benar-benar selesai dibicarakan. Ia seperti pintu yang tertutup rapat dalam percakapan publik, tapi diam-diam dibuka oleh banyak orang di ruang pribadinya. Ia tabu, sekaligus menggoda. Di satu sisi, kita diajarkan untuk menolak dan mengecamnya. Tapi di sisi lain, ia justru menjadi konsumsi diam-diam—sebuah kenikmatan yang muncul dari “dosa yang dilanggar”. Barangkali di situlah kekuatannya: bukan semata karena adegannya, tapi karena aura terlarangnya.  Tak bisa dipungkiri, industri porno juga punya sisi gelap yang besar. Mayoritas kontennya mengeksploitasi tubuh perempuan, mereduksi hubungan seksual menjadi semata soal penetrasi, posisi, dan klimaks. Tak ada ikatan budaya, tak ada afeksi manusiawi—yang ada hanyalah ilusi akan seks yang instan dan bisa diakses kapan saja. Layar menjadi panggung, tubuh menjadi objek. Dan di tengah itu, fantasi kolektif kita berjalan tanpa kendali.  Tapi, seperti pelacuran, film porno adalah industri abadi....

Tentang Obrolan Para Legenda Sepakbola

Belakangan ini saya sering tenggelam dalam YouTube Shorts—bukan yang berisi prank receh atau motivasi instan, tapi potongan-potongan obrolan para legenda sepakbola seperti Jamie Carragher, Ian Wright, Gary Neville, Rio Ferdinand, sampai Roy Keane. Mereka duduk bersama, bercanda, kadang saling sindir, lalu menyusupkan kisah-kisah di balik pertandingan besar yang pernah mereka jalani. Dan entah mengapa, saya betah sekali menyimak mereka berbicara. Mungkin karena semua itu menyentuh satu masa ketika saya sendiri sangat memperhatikan sepakbola. Ketika saya tahu di mana posisi Beckham, bagaimana tendangan Henry, atau ekspresi kesal Roy Keane yang terkenal itu.  Tapi yang membuat saya terhanyut bukan sekadar soal taktik, gol, atau drama lapangan. Yang menarik justru ketika mereka mulai membuka fragmen-fragmen kecil—tentang percakapan di ruang ganti, tentang tekanan batin saat menghadapi penalti, atau bahkan tentang ketakutan tersembunyi saat menghadapi sorak-sorai stadion yang penuh. Mer...

Ngedate dan Keberuntungan

Saya punya pasangan yang, sampai hari ini, masih suka ngedate sama orang lain. Bukan di belakang saya—semua atas pemberitahuan, atas izin, dan atas kesepahaman. Kami memang tidak menjalani relasi yang sepenuhnya konvensional. Tapi tulisan ini bukan sedang ingin membahas etika relasi terbuka. Saya justru ingin bicara tentang satu hal yang lebih mendasar: ngedate itu sendiri—aktivitas yang sangat familiar, tapi sebenarnya sangat tidak ada pakemnya.  Karena semakin lama saya memperhatikan, semakin saya yakin: tidak ada formula baku dalam urusan kencan. Banyak hal dalam ngedate yang sifatnya untung-untungan. Ada perempuan yang suka banget kalau dijemput di date pertama, ada juga yang merasa itu terlalu cepat dan membuatnya tidak nyaman. Ada yang senang diberi bunga, ada yang merasa itu cheesy dan membuatnya ingin pulang lebih awal. Bahkan gestur sekecil membuka pintu mobil atau memesan makanan bisa menimbulkan efek yang sangat berbeda—tergantung siapa yang kamu ajak, dan bagaimana pen...