Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Memang harus diakui, meski mengerti beberapa konsep dalam filsafat sejak agak lama (mungkin sekitar sepuluh tahunan), saya tidak seberapa mendalaminya, atau bahkan menubuhinya. Misalnya, saya mengerti konsep-konsep dasar Marxisme sedari dulu, tapi ya hanya di tataran pikiran. Praktiknya, saya merasa sangat pragmatis, ikut saja ke mana kesempatan muncul. Agak berat untuk mengakui ini, tetapi akhirnya harus diakui, bahwa tahun 2017 dan 2018, saya merasa keren sekali karena menjadi bagian dari acara festival kota yang didanai oleh pemerintah. Acara tersebut sebenarnya berantakan, tapi pada masa itu saya enggan mengakuinya, sibuk membela diri, sibuk menunjukkan pentingnya acara tersebut, pentingnya diri saya ada di sana. Memalukan. Kemudian pada Pemilu 2019, saya ikut-ikutan membela politisi tertentu. Ada sekelompok orang yang menarik saya untuk bergabung, menjadi semacam bagian dari "tim penting" untuk melanggengkan beberapa orang untuk naik ke tampuk kekuasaan. Setiap hari, say...