Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Nomaden



Saya tengah merenungkan untuk menjalani hidup yang nomaden (meski saat ini bisa dikatakan sudah). Artinya, hidup menetap tidak lagi saya jadikan cita-cita. Meski belum membacanya secara tuntas, tetapi saya cukup terkaget saat topik nomaden ini ternyata dibahas oleh filsuf Masa Keemasan Islam, Ibn Khaldun dan filsuf posmodern, Zygmunt Bauman. Ibn Khaldun memberi contoh Suku Badui sebagai suku yang menerapkan prinsip hidup nomaden. Sebagai konsekuensi dari prinsip nomadennya tersebut, Suku Badui, dalam pandangan Ibn Khaldun, dianggap sebagai kelompok yang kemungkinan tidak terikat dengan kemewahan dan perilaku buruk. Sementara itu, Bauman menyebutkannya dalam konteks "modernitas cair" yang ditunjukkan dengan identitas orang yang kian nomaden: bergerak dari satu label ke label yang lain. Namun sekali lagi, saya belum tuntas membacanya sehingga lebih baik jika dalam tulisan ini, saya mengungkapkan apa yang saya pikirkan dan rasakan saja terkait nomaden dan nomad-isme. 

Ada masa-masa ketika saya menikmati hidup menetap: punya rumah tinggal permanen dan pekerjaan tetap yang cukup terjamin hingga hari tua. Hidup kemudian mengalami perubahan drastis dan hal-hal tersebut tidak lagi berada di genggaman. Hidup nomaden menjadi jalan hidup yang mesti dilakukan: Dari tempat tinggal ke tempat tinggal, dari pekerjaan ke pekerjaan. Di masa-masa itu, saya masih belum menganggapnya sebagai sesuatu yang baik, apalagi filosofis. Kadang saya mengasihani diri sendiri, mengapa tidak juga kunjung punya tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Hingga akhirnya sampai pada renungan: mengapa harus menjalani kehidupan yang menetap? Apakah berpindah-pindah adalah hal yang buruk? 

Hidup menetap artinya menempatkan diri pada posisi yang nyaman. Agar semakin nyaman, orang-orang kemudian mengumpulkan kekayaannya pada tempatnya menetap. Di tempat yang katakanlah sebuah rumah, ia mengumpulkan perabotan, menyimpan barang berharga dan membangun garis pemisah antara "punyaku" dan "bukan punyaku" yang dibatasi salah satunya oleh pagar ataupun halaman. Tesis ini bisa diperdebatkan, tetapi mari membayangkan: hidup menetap membuat orang begitu nyaman hingga akhirnya makan dengan puas, memanfaatkan persediaan pangan dan di situlah mulai muncul beraneka penyakit yang muncul dari "perut". Hidup menetap juga bisa dibayangkan sebagai asal-usul munculnya patriarki. Laki-laki dianggap lebih kuat secara fisik untuk lebih sering berada di luar rumah dan perempuan menjadi pihak yang "sebaiknya" menjaga rumah dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Keseluruhannya tersebut seolah-olah diterima sebagai sesuatu yang kodrati, padahal mungkin dalam konteks hidup yang nomaden, apa yang "kodrati" itu tidak terlalu jelas. Orang-orang bergerak bersama-sama, laki-laki dan perempuan, tanpa memedulikan mana yang seharusnya tinggal di rumah dan mana yang lebih sering bepergian. 

Dalam prinsip hidup nomaden, mungkin orang-orang tidak dibiarkan untuk memiliki segala sesuatu sampai terlalu melekat padanya. Kekayaan apapun pada akhirnya mesti dilepaskan dan dicari kembali (yang belum tentu akan ditemukan). Dari tempat ke tempat, orang-orang ini sadar bahwa bukan alam serta lingkungan yang mesti beradaptasi pada cara hidup mereka, tetapi sebaliknya, mereka lah yang mesti beradaptasi dengan alam dan lingkungan. Perasaan yang senantiasa tidak stabil ini bisa saja membuat orang-orang nomad, mau tidak mau, bersandar pada satu kepastian: Tuhan atau apapun itu yang lebih tetap dan abadi. Nasibnya bisa berubah kapan saja, tidak seperti mereka yang menetap: menganggap hari demi hari bisa diprediksi karena seolah-olah masa depan itu mampu dimiliki, seperti sebidang tanah yang di atasnya dibangun rumah-rumah mereka, yang dijamin oleh beberapa lembar kertas saja.

Dengan prinsip hidup yang nomaden, saya senantiasa berdoa dalam setiap langkah, dari satu tempat ke tempat lain. Doa yang sungguh-sungguh: "Ya Tuhan, cukupkanlah rejekiku hari ini. Hanya hari ini. Besok biarlah besok, agar aku dapat berdoa kembali."

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...