Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Operation Finale (2018): Tentang Iblis yang Tampil Biasa

Operation Finale (2018)


Memang benar saya tergila-gila dengan film yang berhubungan dengan Perang Dunia II. Beragamnya pilihan acara yang ditawarkan Netflix sementara ini tidak menarik minat saya. Ujung-ujungnya tetap saja yang ditonton adalah film yang ada kaitannya dengan Nazi-Nazi-an. Kali ini saya memilih film Operation Finale, film tahun 2018 yang bercerita tentang momen-momen penangkapan Adolf Eichmann di Argentina. 

Kesan pertama saya tentang Operation Finale ini adalah tone-nya yang tidak kelam seperti film lainnya yang serupa, sebut saja Schindler's List, Downfall, ataupun The Boys in Striped Pajamas. Film ini hampir seperti film "pada umumnya" dengan tampilan yang tidak dibuat-buat agar dramatis dan muram. Bagi saya yang terbiasa dengan penggambaran gelap pada film-film berbau Perang Dunia II, Operation Finale ini awalnya saya duga akan mengecewakan. 

Ternyata, dari waktu ke waktu, suasana yang "diharapkan" mulai terbangun, terutama saat sosok Adolf Eichmann, yang diperankan oleh Ben Kingsley muncul. Seperti yang digambarkan oleh filsuf Hannah Arendt dalam bukunya, Banality of Evil, hal yang mengerikan dari Eichmann justru karena ia tampil seperti "orang biasa" dengan kegiatan-kegiatan biasa, sama sekali tidak mencerminkan eks petinggi Nazi yang telah menjadi salah satu arsitek holocaust. Eichmann, yang berhasil lolos dari penjara tahanan perang Amerika pasca perang, tinggal di Argentina dan menjalani kehidupan normal dengan nama Ricardo Klement. 

Kengerian yang digambarkan oleh Arendt tampak saat momen percakapan Eichmann dengan para agen Mossad yang menangkapnya. Dari obrolan ke obrolan, Klement pelan-pelan menjelma menjadi Eichmann dalam artian: "orang biasa" itu menampakkan jatidirinya. Sedikit demi sedikit iblis dari masa lalunya berbicara dan pandangan kita akan Klement tua kian memudar. Di sinilah film Operation Finale yang disutradarai Chris Weltz tersebut mengaduk-aduk perasaan kita untuk mengajukan pertanyaan: bagaimana mungkin orang tua seperti Klement dulunya adalah seorang jagal yang tanpa ampun menghabisi jutaan nyawa? 

Film ini tidak banyak menampilkan adegan kekejian Nazi, tetapi suspens dibangun secara psikologis, termasuk misalnya saat salah satu agen Mossad, Peter Malkin, mencukur janggut Eichmann. Sambil mencukur janggutnya dengan pisau, Eichmann menceritakan masa lalunya, yang membuat Malkin, sebagai seorang Yahudi, geram. Suasana ini ngeri-ngeri sedap. Bayangkan, musuh kita ada di hadapan, tidak berdaya, dan pisau yang kita pegang sudah ada di lehernya. Hanya dengan sedikit tekanan, ia bisa dibunuh. Namun apa boleh buat, Malkin harus bertindak berdasarkan akal sehatnya, mengingat misi ini memang mengharuskan Mossad membawa Eichmann ke Israel dalam keadaan hidup untuk diadili. 

Di dalam persidangan, Eichmann mengaku tidak merasa bersalah atas pembunuhan orang-orang Yahudi karena ia hanya melakukannya berdasarkan perintah (bagian ini tidak banyak ditampilkan di dalam film). Pada titik ini, kita masuk pada persoalan moral yang pelik, tentang keharusan menaati peraturan versus hati nurani dalam memperlakukan manusia lainnya. Dalam lanskap kehidupan di Jerman pada masa itu, melakukan diskriminasi hingga pembunuhan terhadap Yahudi bukan hanya bagian dari menjalankan perintah negara, tetapi juga dipuji sebagai sesuatu yang "bermoral."

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...