Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Anies Baswedan dan Akechi Mitsuhide


 
Masa kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta memang baru sebentar. Namun kritik tajam yang dialamatkan tidak kunjung berhenti. Anies seperti bingung bagaimana cara memimpin Jakarta, terlebih lagi dibayang-bayangi oleh pemerintahan sebelumnya yang cukup keras, tegas, dan memberikan sejumlah perubahan signifikan. Kebingungan Anies memang sedikit banyak sudah diprediksi dari sebelum naik jabatan. Anies, tanpa punya latar belakang birokrasi yang cukup, tiba-tiba mencalonkan diri menjadi gubernur setelah sebelumnya lebih dikenal berkecimpung di dunia pendidikan. Naiknya Anies juga ditandai oleh sejumlah isu intoleran yang menyerang calon gubernur incumbent, Ahok. Ahok - yang berlatarbelakang Tionghoa dan Kristen -, diserang habis-habisan lewat mobilisasi massa besar-besaran yang lebih terlihat sebagai sebuah aksi politik daripada agama. 

Detail kejadian itu, kita semua sudah tahu. Tidak perlu dipaparkan lebih lanjut. Hanya saja telikung politik semacam ini sebenarnya sangat klasik. Begitu klasiknya hingga saya ingat sebuah bab dalam buku Taiko karya Eiji Yoshikawa yang berjudul Lima Puluh Tahun di Bawah Langit. Novel sejarah yang bercerita tentang Jepang di abad ke-16 ini, salah satunya mengisahkan tentang sosok Oda Nobunaga, daimyo (pemimpin samurai) yang masa itu sangat berkuasa - dikenal dengan karakternya yang tegas sekaligus brutal -. Kematian Nobunaga dapat dikatakan tragis: Ia dikhianati oleh salah seorang anak buah terbaiknya, Akechi Mitsuhide, yang sebelumnya ia andalkan sebagai sosok yang cerdas dan penuh perhitungan. 

Mengapa Mitsuhide membelot? Ada banyak versi. Namun versi yang paling umum adalah alasan sakit hati. Mitsuhide tersinggung oleh kata-kata Nobunaga dalam suatu peristiwa, hingga merasa suatu hari harus membunuhnya. Tidak sulit bagi Mitsuhide untuk menyerang Nobunaga di pagi hari, ketika majikannya tersebut masih tertidur dan tiada seorangpun pengawalnya yang curiga. Singkat cerita, Mitsuhide bersama pasukannya berhasil membunuh Nobunaga dan membuat Kuil Honno - kediaman Nobunaga - terbakar hebat. Keberhasilan ini membuat Mitsuhide dielu-elukan pasukannya. Mereka meneriakkan nama Mitsuhide sebagai suksesor Nobunaga dalam memimpin negeri. Namun puja puji itu ia tanggapi dengan suara hati yang sangat menyedihkan:

"Apa yang kauinginkan? Berkali-kali Mitsuhide mengulangi pertanyaan itu dalam benaknya. Memimpin negeri! terngiang-ngiang di telinganya, tapi bunyinya sungguh hampa. Ia terpaksa mengakui bahwa ia tak pernah memeluk harapan sedemikian tinggi, karena tidak memiliki ambisi maupun kemampuan untuk itu. Sejak semula ia hanya mempunyai satu tujuan: membunuh Nobunaga. Keinginan Mitsuhide telah terpuaskan oleh kobaran api di Kuil Honno, dan yang tersisa kini hanyalah nafsu tanpa keyakinan."

"... Begitu Nobunaga berubah menjadi abu, kebencian yang membekukan hati Mitsuhide pun larut seperti salju mencair."

Suara hati Mitsuhide mungkin mewakili suara hati Anies (mungkin saja, jika menggali sangat dalam). Ia melakukan telikung politik tidak dalam rangka yakin akan kapabilitas dirinya dalam menjadi gubernur. Motifnya (atau motif partainya) adalah hanya dalam rangka membuat Ahok tidak bisa menang di pemilihan. Saat Ahok tumbang, mungkin ada sebersit nuraninya yang bertanya-tanya: Apakah iya ini keinginan saya? Apakah iya saya pantas menjadi gubernur menggantikan Ahok?  Ada kesamaan cukup penting antara karakter Anies dan Mitsuhide. Keduanya sama-sama orang cakap dan cerdas. Namun itu bukan berarti ia punya karakter memimpin. Terkadang seorang pemimpin bukan perkara ia cakap atau cerdas, tapi juga punya kemampuan mengambil keputusan yang cepat dan tegas. 

Balas dendam dan motif kebencian memang seringkali mengaburkan hubungan antara kompetensi dan posisi. Hal-hal sangat personal semacam ini pada akhirnya dapat merugikan orang banyak.

Comments

  1. Keren gan artikelnya, memang mirip sih ya. cuma bedanya satu lengser satu dibunuh

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...