Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Kafe dan Perangkap Eksterior

"I look at the world and I see absurdity all around me. People do strange things constantly, to the point that, for the most part, we manage not to see it. That's why I love coffee shops and public places – I mean, they're all out there." - David Lynch

Ketika berlebaran di Jakarta kemarin, saya mencuri dua hari (dari total enam) untuk nongkrong di dua kafe di dua mal yang berbeda. Alasannya, pertama, saya harus menyelesaikan sejumlah deadline ketikan, dan menganggap bahwa kafe adalah tempat yang cocok -terutama karena ada wi-fi-. Kedua, sudah lama saya tidak ngafe. Sekalian bersantai, saya juga ingin melebur dengan aktivitas masyarakat urban (yang konsumtif). Setelah mengantri dua puluh menit di Starbucks, saya memesan Frappuccino -yang setelah melalui sedikit googling, ternyata adalah minuman khas milik Starbucks yang membuat mereka menjadi terkenal ke seluruh dunia-. "Ukuran apa?" tanya kasir. Saya jawab mantap, "Venti." Saya memang tidak mau tanggung dalam melebur bersama budaya populer. Sekalian saya beli produk paling terkenal dengan ukuran yang paling besar. Meski sudah diatur sedemikian rupa oleh Starbucks setempat sehingga saya tidak bisa browsing banyak situs (termasuk gmail!), saya berhasil mengatasi deadline dalam waktu kurang dari sejam. Dalam keadaan Frappuccino besar yang habis, baterai ponsel dan laptop yang penuh (karena di-charge selama ngafe), saya pun keluar mal dalam keadaan gembira.

Hari kedua, saya mengunjungi Coffee Bean (nama resminya: The Coffee Bean and Tea Leaf) di mal yang berbeda. Alasannya, selain ingin mencoba suasana lain, saya juga sedikit dikecewakan dengan pembatasan situs browsing yang dilakukan oleh Starbucks (saya tahu, alasannya adalah agar pengunjung tidak berlama-lama menumpang wi-fi). Pengalaman pertama saya dengan Coffee Bean ternyata menyenangkan. Meski harga minumannya sedikit di atas Starbucks, tapi mereka tidak melakukan pembatasan terhadap wi-fi. Tidak ada password, tidak ada pembatasan soal situs yang dibuka. Kebetulan juga, karena pengunjung agak padat, saya diberi kursi VIP -mungkin penyaji tahu bahwa tamu-tamu VIP tidak akan datang, sehingga mereka memilih untuk memberikannya pada saya, ketimbang saya tidak dapat duduk-. Minuman yang saya pesan? Judulnya Ice Blended Vanila. Sekali lagi, deadline ketikan (yang lain) berhasil saya selesaikan di tempat tersebut dalam durasi kurang dari dua jam. Sama seperti sebelumnya, saya keluar mal dalam keadaan bahagia oleh sebab ponsel dan laptop yang baterainya penuh.

Lantas, apa hubungannya dua paragraf pengalaman saya di atas, dengan tulisan David Lynch di paragraf pembuka? Pertama, ternyata saya adalah bagian dari apa yang Lynch katakan sebagai "absurdity" dan "strange things" itu sendiri. Ada semacam mitos dalam diri saya bahwa rasa tenang untuk berpikir dan menulis haruslah berasal dari kafe. Belum lagi suatu kenyataan bahwa keberadaan saya di sebuah kafe ternama, akan membuat saya tidak hanya berpikir dan menulis dengan jernih, tapi juga meningkatkan status sosial di mata masyarakat (sepaket dengan pemberitahuan di media sosial tentunya, seperti yang saya lakukan sekarang ini). Sedangkan kalau mau dilihat secara lebih terang, kafe itu sendiri begitu ramai dengan orang (sama sekali tidak menimbulkan ketenangan) dan kopi yang disuguhkan memang enak, tapi pasti harusnya tidak semahal itu (karena dimasukkan ke dalamnya harga pencitraan yang bisa lebih dari dua kali lipat harga kopinya saja).  


Namun bukan itu renungan paling mendasar dari semua ini. Saya berpikir bahwa kapitalisme sudah bergerak lebih jauh dari para pemikir paling kritis sekalipun. Kita tahu bahwa waktu luang adalah syarat yang nyaris wajib bagi para pemikir untuk melahirkan pikiran-pikiran besarnya -itu sebabnya mengapa Yunani Kuno banyak melahirkan pemikir besar, salah satunya karena pekerjaan kasar sudah dilakukan oleh para budak-. Sokrates melakukan nyaris seluruh dialognya di alun-alun bernama agora, Revolusi Prancis konon bermula dari obrolan-obrolan di salon, dan para pemikir eksistensialis Prancis di awal abad ke-20, rajin nongkrong di Café de Flore. Kapitalisme tidak membiarkan waktu luang tersebut berlalu begitu saja tanpa menjadi uang.

Kemarin saya merampungkan sejumlah tulisan yang dapat dikatakan filosofis dan juga ilmiah, dengan modal sekitar seratus ribu ditambah beberapa liter bensin. Bahkan bisa dikatakan beberapa tulisan yang saya lahirkan dari Starbucks atau Coffee Bean tersebut, membicarakan hal-hal terkait marxisme -yang tentu saja sedikit kontradiktif dari ngafe yang saya lakukan-. Dengan ngafe, saya merasa sudah keluar dari perangkap keseharian dan lepas ke ruang dimana saya boleh berfilsafat dan berdiskusi, meski dengan diri sendiri. Berfilsafat boleh saja, berdiskusi silakan saja, tapi jangan melahirkan pemikiran besar tanpa menyumbang sedikit saja bagi roda kapital. Mungkin inilah yang disebut dengan perangkap eksterior. 

Comments

  1. Senang dulu baru bisa mikir, dalam bahasa kapitalis, senang berbanding lurus dengan kesejahteraan. Kesejahteraan berbanding lurus juga dgn kemampuan finansial.

    Simpulan maksa, pak syarif orang yg sejahtera...

    ReplyDelete
  2. Senang dulu baru bisa mikir, dalam bahasa kapitalis, senang berbanding lurus dengan kesejahteraan. Kesejahteraan berbanding lurus juga dgn kemampuan finansial.

    Simpulan maksa, pak syarif orang yg sejahtera...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...