Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Sebenarnya saya bukanlah orang yang menaruh perhatian serius pada sejarah negeri sendiri -sangat menyedihkan!-. Setidaknya belum, sampai saya menonton film dokumenter berjudul Jagal yang judul aslinya adalah The Act of Killing. Film yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer ini bercerita tentang Anwar Congo dan Herman Koto, dua eks preman bioskop yang direkrut oleh pemerintah untuk menumpas orang-orang yang dituding sebagai komunis. Latar belakang penumpasan ini ditengarai bernuansa politis sebagai bentuk penggulingan terhadap rezim pemerintahan sebelumnya, Soekarno, yang memang dekat dengan petinggi-petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Anwar dan Herman, kemudian diminta untuk menceritakan bagaimana pengalamannya dalam melenyapkan orang-orang yang dituduh komunis tersebut -tidak hanya diceritakan, tapi juga direkonstruksi ulang sedetail mungkin-. Yang menarik, keduanya boleh merekonstruksi ulang kejadiannya dengan caranya sendiri. Dalam arti kata lain, mereka boleh meniru adegan dari film-film favorit mereka -yang kemudian difasilitasi tentunya-. Ada film koboi, film gangster, hingga film horor mereka jadikan latar untuk meniru pembunuhan yang dilakukan oleh mereka. Anwar dan Herman, sebagaimana dituliskan dalam narasi awal film, memang terlihat sangat bangga dengan apa-apa yang sudah mereka lakukan. Dalam film ini juga dilibatkan rekan-rekan Anwar dan Herman sesama kontra revolusi seperti Ibrahim Sinik dan Safit Pardede.
Proses rekonstruksi ini ternyata tidak memuaskan hati Anwar Congo pada akhirnya. Justru lama kelamaan ia merasa bahwa apa yang ia lakukan selama ini ternyata tidak benar. Artinya, film itu sendiri menjadi katalisator hati nurani Anwar yang sejak awal sangat bangga akan prestasinya dalam membunuhi ribuan tertuduh komunis -ia bahkan dianggap pahlawan oleh masyarakat sekitar-. Bagian ini menjadi sisi yang "melegakan" ketika sepanjang film berdurasi nyaris dua setengah jam saya dilanda perasaan campur aduk antara benci, mual, kesal, hingga bingung. Bingung karena bagaimana mungkin hal yang segamblang ini -tentang fakta bahwa perilaku mereka yang kontra-revolusi ternyata jauh lebih kejam dan melakukan kejahatan kemanusiaan yang lebih masif daripada apa yang dituduhkan terhadap PKI- tidak terpaparkan secara terbuka dalam wacana sejarah kita.
Dalam ulasan yang ditulis oleh Peter Debruge di salah satu situs, film Jagal adalah film yang esensial untuk ditonton, tapi tidak untuk ditonton kembali. Saya pribadi merasa terganggu beberapa hari setelah menyaksikannya. Memang sulit membayangkan bagaimana seorang yang begitu menikmati banyak pembunuhan hidup secara nyata dalam masyarakat kita. Ia merasa perbuatannya benar oleh sebab propaganda demi propaganda yang dilancarkan dan akhirnya tertanam dalam pikirannya. Ditambah lagi, suatu penyebab tribal menjadi dasar bagi pembantaian. Katanya, sebagai eks preman bioskop, "Karena orang-orang komunis ini menghasut rakyat agar tidak nonton film Hollywood. Padahal penghasilan kami kan dari orang-orang yang nonton film Barat."
Sejarah, pada akhirnya selalu berupa rekonstruksi dari sejumlah interpretasi.
Comments
Post a Comment