Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Spartacus dalam film yang digarap oleh sutradara Stanley Kubrick ini, memang diangkat dari kisah nyata, tentang seseorang bernama Spartacus. Tapi kenyataannya, tidak ada sejarah yang sedemikian akurat dalam menggambarkan gerak-gerik Spartacus sesungguhnya.
Film berdurasi tiga jam lima belas menit ini, mengisahkan tentang seorang budak bernama Spartacus yang berjuang mendapatkan kemerdekaannya. Perjuangannya "kebablasan", ia tak cuma membebaskan diri, tapi membebaskan ribuan budak lainnya untuk kemudian memancing penguasa Romawi untuk bertempur secara terbuka. Diperankan oleh Kirk Douglas, tokoh Spartacus disini sungguh mengundang simpati dari sejak awal. Ia pemberontak tapi juga lemah lembut di hadapan wanita bernama Varinia. Ia pemberani namun matanya berubah berkaca jika berbicara pada ribuan budak yang hendak bertempur.
Film Spartacus memang terlihat sekali seperti film berbujet tinggi. Memang iya, konon biaya pembuatannya mencapai dua belas juta dollar, plus figuran lebih dari sepuluh ribu orang. Musiknya digarap oleh Alex North yang cukup terkenal di masa itu, dan memang terasa sekali pengaruh musiknya menjadikan si film epik sekaligus puitik. Untuk seorang Stanley Kubrick yang waktu itu masih berusia tiga puluh tahun, jelas ini sebuah proyek besar! Hasilnya tidak mengecewakan, Spartacus memperoleh empat Oscar untuk pemeran pembantu terbaik, sinematografi terbaik, kostum dan art direction. Alex North sebagai penata musik tercatat dalam nominasi.
Meskipun berdurasi cukup panjang, film yang mengambil setting sekitar tujuh puluh tahun sebelum masehi ini bisa menjaga tensinya. Drama dan action bisa muncul secara berimbang. Yang menjadi perhatian saya secara pribadi bukanlah sosok Spartacus itu sendiri, melainkan sosok antagonis Marcus Licinius Crassus yang merupakan komandan tentara Romawi. Crassus amat berambisi untuk menaklukkan Spartacus, tapi ia menegaskan satu hal: Saya bukan sekedar ingin membunuh Spartacus, tapi juga ingin membunuh legenda tentang Spartacus.
Apa yang diinginkan Crassus sebagian terkabulkan sebagian tidak. Memang iya, kemudian ia sukses meredam Spartacus dan pasukannya. Memang iya juga, Crassus sukses mengaburkan legenda tentang Spartacus. Tapi satu hal yang pasti, cerita tentang Spartacus tetap menyembul meski hanya serpihan-serpihan yang sedemikian sulit untuk dilacak. Artinya, Spartacus adalah juga seperti Sokrates atau Konfusius, keberadaannya sedemikian kabur dan sulit dibuktikan eksistensinya.
Namun memperdebatkan eksistensi terkadang tidak terlalu penting. Yang terpenting disini adalah bagaimana Kubrick menyusun kembali kisah Spartacus, dengan tambahan sana-sini tentunya, untuk menjadi inspirasi bagi siapapun. Kubrick bukan satu-satunya orang yang mencoba menyusun kembali kisah Spartacus untuk dijadikan inspirasi, ada Karl Marx yang mengambil Spartacus sebagai "inspirator gerakan proletar". Maka ketika di masa hidupnya seseorang pernah berjuang namun tidak mencapai apa yang ia inginkan, pastikan bahwa sejarah pernah mencatat. Kelak, sejarah itu sendiri yang akan meneruskan perjuangannya.
Film berdurasi tiga jam lima belas menit ini, mengisahkan tentang seorang budak bernama Spartacus yang berjuang mendapatkan kemerdekaannya. Perjuangannya "kebablasan", ia tak cuma membebaskan diri, tapi membebaskan ribuan budak lainnya untuk kemudian memancing penguasa Romawi untuk bertempur secara terbuka. Diperankan oleh Kirk Douglas, tokoh Spartacus disini sungguh mengundang simpati dari sejak awal. Ia pemberontak tapi juga lemah lembut di hadapan wanita bernama Varinia. Ia pemberani namun matanya berubah berkaca jika berbicara pada ribuan budak yang hendak bertempur.
Film Spartacus memang terlihat sekali seperti film berbujet tinggi. Memang iya, konon biaya pembuatannya mencapai dua belas juta dollar, plus figuran lebih dari sepuluh ribu orang. Musiknya digarap oleh Alex North yang cukup terkenal di masa itu, dan memang terasa sekali pengaruh musiknya menjadikan si film epik sekaligus puitik. Untuk seorang Stanley Kubrick yang waktu itu masih berusia tiga puluh tahun, jelas ini sebuah proyek besar! Hasilnya tidak mengecewakan, Spartacus memperoleh empat Oscar untuk pemeran pembantu terbaik, sinematografi terbaik, kostum dan art direction. Alex North sebagai penata musik tercatat dalam nominasi.
Meskipun berdurasi cukup panjang, film yang mengambil setting sekitar tujuh puluh tahun sebelum masehi ini bisa menjaga tensinya. Drama dan action bisa muncul secara berimbang. Yang menjadi perhatian saya secara pribadi bukanlah sosok Spartacus itu sendiri, melainkan sosok antagonis Marcus Licinius Crassus yang merupakan komandan tentara Romawi. Crassus amat berambisi untuk menaklukkan Spartacus, tapi ia menegaskan satu hal: Saya bukan sekedar ingin membunuh Spartacus, tapi juga ingin membunuh legenda tentang Spartacus.
Apa yang diinginkan Crassus sebagian terkabulkan sebagian tidak. Memang iya, kemudian ia sukses meredam Spartacus dan pasukannya. Memang iya juga, Crassus sukses mengaburkan legenda tentang Spartacus. Tapi satu hal yang pasti, cerita tentang Spartacus tetap menyembul meski hanya serpihan-serpihan yang sedemikian sulit untuk dilacak. Artinya, Spartacus adalah juga seperti Sokrates atau Konfusius, keberadaannya sedemikian kabur dan sulit dibuktikan eksistensinya.
Namun memperdebatkan eksistensi terkadang tidak terlalu penting. Yang terpenting disini adalah bagaimana Kubrick menyusun kembali kisah Spartacus, dengan tambahan sana-sini tentunya, untuk menjadi inspirasi bagi siapapun. Kubrick bukan satu-satunya orang yang mencoba menyusun kembali kisah Spartacus untuk dijadikan inspirasi, ada Karl Marx yang mengambil Spartacus sebagai "inspirator gerakan proletar". Maka ketika di masa hidupnya seseorang pernah berjuang namun tidak mencapai apa yang ia inginkan, pastikan bahwa sejarah pernah mencatat. Kelak, sejarah itu sendiri yang akan meneruskan perjuangannya.
kapan film terbaru spartacus bang..?
ReplyDeleteskarng jarang ORANG jadi SPARTACUS tapi byk yg jd SUPER RACKUSE..
ReplyDeleteGOOD
ReplyDelete