Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Muara Filsafat


Hari Minggu adalah jadwal saya mengajar di sebuah pesantren di kawasan Cijawura. Apa yang saya ajarkan sesungguhnya bertajuk awal "Gitar Klasik". Namun melihat animo yang cukup besar (ini adalah semacam kelas ekstrakurikuler yang siswa boleh memilih secara sukarela), saya memutuskan untuk mengganti tajuknya menjadi kelas "Musik" saja. Masalahnya, dua puluh orang anak jika diajari gitar klasik secara detail akan cukup repot. Belum pertimbangan bahwa banyak diantaranya tidak mempunyai gitar, dan juga kemampuan dasarnya tidak sama.

Atas dasar siswa yang cukup banyak itu, akhirnya saya bagi menjadi empat kelompok dengan masing-masing lima orang. Masing-masing kelompok diharuskan berkreasi sendiri, menampilkan suatu lagu bebas dalam format akustik. Tentu saja atas nama keadilan, pria wanita bercampur baur di sana.

Singkat cerita, akhirnya saya menyuruh masing-masing kelompok untuk maju ke depan, menampilkan kreasinya. Namun ekspektasi saya terhenti karena sekelompok pemuda di kelas mengajukan protes, "Kami tidak setuju wanita menyanyi. Karena akan bisa mengundang syahwat." Saya agak tersentak dengan penolakan tersebut. Saya betul-betul baru mengetahui tentang itu. Meskipun dalam taraf yang sederhana, akhirnya saya berhadapan langsung dengan fundamentalisme.

Saya berusaha untuk menghormati pendapat itu. Karena bagaimanapun juga, berhadapan dengan orang yang menggunakan dalil agama jelas berbeda dengan orang yang menggunakan dalil filsafat. Saya akhirnya bertanya pada mereka, berusaha tenang, "Dari mana kalian mendapatkan dalil itu?" Mereka tidak bisa menyebutkan sumbernya, tapi mereka tampak yakin dengan hukum tersebut. "Kalau suara wanita mengundang syahwat, bagaimana dengan buku kedokteran atau biologi? Bukankah isinya seringkali memperlihatkan tubuh telanjang dan kadang alat kelamin?" Mereka lagi-lagi tidak bisa menjawab, tapi tetap yakin pada pendiriannya.

"Lihat wanita-wanita di kelas ini, mereka sudah siap menyanyi. Dengan adanya pernyataan kalian, mungkin mereka jadi sakit hati. Apa hukum menyakiti hati sesama Muslim?" saya melanjutkan. Mereka, sambil tertunduk, mengatakan haram. Tapi sekali lagi, mereka teguh bahwa wanita tetap tidak boleh menyanyi. "Saya akan bertanya, termasuk golongan Islam manakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami Islam universal." "Apa itu yang universal? Ahlus-sunnah wal jama'ah?" saya mencoba mengorek dengan metoda Sokratik. "Iya," jawabnya. "O, kalau begitu kalian adalah Sunni. Jadi kalian bukan Syi'ah ya?" saya mulai menemukan kontradiksi dalam diri mereka. "Apa mazhab yang kalian anut? Syafi'i kah?" tanya saya, mendesak. "Iya," jawab mereka. "O, kalau begitu kalian bukan termasuk kepada mazhab Maliki, Hambali atau Hanafi ya? Jadi kalian bukan Islam universal kan? Kalian adalah Sunni dengan mazhab Syafi'i, tolong koreksi saya jika salah!" seru saya dengan semangat. Saya menambahkan, dengan agak terinspirasi Jalaluddin Rakhmat, "Jika demikian mungkin saja yang mengharamkan wanita menyanyi bukan Islam universal, tapi sebahagiaan kelompok dalam Islam saja. Tapi apakah menyakiti hati sesama Muslim adalah ajaran Islam universal?" Mereka menjawab ya dengan pelan, saya tahu mereka agak-agak mencair sekarang.

Meski demikian, saya tetap tidak melihat mereka akan memindahkan pendiriannya. Sejenak kemudian ada seorang santri berdiri mengemukakan pendapatnya, "Kak, saya tadi sempat melihat hadits, saya membaca bahwa Rasulullah SAW pernah membiarkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya. Hadits ini shahih dari Bukhari dan Muslim." Apa yang ia ucapkan ternyata jadi penolong. Mereka semua akhirnya setuju untuk membiarkan wanita menyanyi. Setelah keempat kelompok bernyanyi ke depan (ternyata para penyanyi wanita sangat bagus-bagus!), saya menambahkan kalimat penutup, "Syahwat pasti ada dalam setiap peristiwa, tapi bukankah yang penting adalah niatnya?"

Hari itu saya belajar sangat banyak. Terutama tentang muara dari filsafat yang saya pelajari selama ini. Ternyata filsafat belum selesai ketika saya sukses menghafal pemikiran dari Thales hingga Foucault, atau dari Yunani hingga Cina. Filsafat belum selesai ketika kita merefleksikan segenap pemikiran menjadi hakikat segala sesuatu di balik apa yang tampak. Filsafat barangkali bermuara pada arti kata filsafat itu sendiri yaitu cinta kebijaksanaan. Apa yang saya yakini sebagai bijaksana, adalah persis dengan keyakinan para santri itu sendiri tentang apa yang bijaksana. Ketika dua hal yang bijaksana "diadukan", maka disinilah filsafat mengekspresikan rasa cintanya yang hakiki. Cinta sejati adalah yang lembut dan mau mengerti sesama. Rasa-rasanya filsafat menjadi gagal jika kerap menuduh FPI keji tanpa mau memahami alam pikiran mereka yang juga barangkali mengandung kebijaksaan bagi dirinya. Jika filsafat menolak usaha pemahaman tentang yang liyan (the others), maka sesungguhnya ia tak ubahnya sebagai fundamentalis juga.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...