Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Bayangkan sebuah orkestra bernama Barcelona. Semua dimulai dari dirigen bernama Xavi. Ia pemimpin rombongan, dan seluruh pemain menunggu aba-abanya. Tongkat konduktor ia angkat tanda bersiap, para pemain bergerak mengangkat instrumennya masing-masing. Biasanya segalanya dimulai dari denting harpa Busquets. Ia membunyikan intro ringan, semata-mata agar suasana menjadi terbiasa. Di bar kedelapan Busquets menaikkan volume. Forte. Tak lama kemudian berbunyi jua instrumen lain. Suasana menjadi ramai, riang, dan memukau. Iniesta membunyikan flute, muncul sesekali bagaikan balutan improvisasi. Suaranya bagai desah angin di pegunungan. Xavi menunjuk Villa, dan ia pun memeragakan permainan brass yang mahir. Meliuk-liuk bagai wanita di klab malam. Jangan sampai membosankan, kawan, kata Xavi sambil meminta Puyol dan Pique mendeciskan cymbal. Alves, giliranmu, mainkan cello. Rambatilah sudut ruangan dengan jangkauan nadamu yang luas dan seksi. Pedro turun kau kemari, buang partitur itu, dan mainkan biola alto untuk membuat penonton geregetan. Geregetan karena sekeras-kerasnya kau bermain, tetap tak akan setajam sayatan sang violinis Messi. Messi sang Medusa yang tatapannya bisa bikin kau membatu.
Dengarkanlah kemeriahan itu, seperti Tchaikovsky dalam Waltz of The Flowers. Mereka menari, mereka gembira, mereka berbunga-bunga.
Akhirilah Overture ini segera, wahai sang komposer, Guardiola. Dada kami sudah gegap gempita menahan kekaguman yang maha. Karya berjudul tiki-taka hanya sempurna dimainkan oleh anak-anak Katalonia. Dari La Masia, untuk dunia.
Dengarkanlah kemeriahan itu, seperti Tchaikovsky dalam Waltz of The Flowers. Mereka menari, mereka gembira, mereka berbunga-bunga.
Akhirilah Overture ini segera, wahai sang komposer, Guardiola. Dada kami sudah gegap gempita menahan kekaguman yang maha. Karya berjudul tiki-taka hanya sempurna dimainkan oleh anak-anak Katalonia. Dari La Masia, untuk dunia.
Comments
Post a Comment