Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Suatu Pagi di STT Tekstil


Jumat pagi, tanggal 19 itu, ada acara yang tidak biasa. Acara yang membuat rutinitas harian sukses dialihkan. Adalah hari pertama saya mengajar di STT Tekstil. Letaknya juga menyenangkan. Selain tak terlalu jauh dari rumah, jalurnya juga berbeda dari biasanya. Sekarang lebih ke arah Timur Bandung, setelah seringkali berkutat dengan wilayah Barat Utara Selatan. Jadinya, memang hari itu saya sangat bersemangat. Suatu momen yang berbeda dalam kubangan rutinitas yang menjemukan, bagaikan lembar berwarna dalam bundelan komik hitam putih.

Oh iya, di STT Tekstil tersebut, yang saya ajari bukan tetek bengek soal tekstil. Tapi kenyataan bahwa mereka punya unit kemahasiswaan yang mengurusi gitar klasik dan beranggotakan lebih dari tiga puluh orang, yang Alhamdulillah, mempercayai saya untuk melatihnya. Ini, bagi saya, cukup mencengangkan. Bayangkan, sekolah yang berbasiskan perindustrian, punya minat terhadap gitar klasik yang barangkali paling tinggi ketimbang sekolah manapun di Bandung, bahkan sekolah yang punya jurusan musik sekalipun. Ini jelas tantangan yang menggiurkan bagi saya pribadi. Selain mesti berbagi pada mahasiswa yang barangkali lebih akrab dengan bunyi mesin ketimbang musik, saya juga diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan ilmu yang sudah saya dapat selama bergelut di dunia gitar klasik. Ilmu yang saya percayai, hanya berarti kala dibagi. Kala bermanfaat bagi orang lain.

Dan tibalah saya di pagi itu, pukul sembilan. Belum ada satupun orang yang datang, dan saya gunakan kesempatan itu untuk berkeliling melihat area kampus. Ternyata kampus yang cukup besar, dan fasilitasnya pun oke. Ia berada di bawah Departemen Perindustrian. Lalu tak lama kemudian, datanglah para pengurus unit gitar klasik, namanya Widya dan Iskan. Keduanya mengatakan bahwa kemungkinan orang-orang akan terlambat, karena ada miskomunikasi. Ada yang bilang jam sembilan, ada yang tahunya jam sepuluh.

Akhirnya, pelatihan pun dimulai. Dimulai, maksudnya, setelah cukup banyak orang yang datang. Banyak itu, sekitar dua puluh orang. Saya memperkenalkan diri, meminta para pengikut unit memperkenalkan dirinya juga sembari menceritakan motivasinya ikut unit ini, serta akhirnya saya memainkan dua buah lagu sebagai "perkenalan" lebih lanjut. Pagi itu, saya berbagi sedikit soal pengetahuan membaca not, membaca ketukan, serta tangga nada mayor. Memang, sebagian besar dari mereka belum terlalu fasih soal dasar-dasar gitar klasik. Tapi, sebetulnya, bukan itu yang jadi sorotan saya. Yang membuat saya bahagia, haru, dan mencintai kegiatan ini, adalah kenyataan bahwa saya berhadapan dengan puluhan manusia yang sedang sangat bersemangat. Saya tidak setuju dengan Trie Utami di AFI dulu, bahwa, "Penonton tak peduli dengan alasan apapun, yang penting nyanyi kamu bagus." Untuk dunia hiburan, bolehlah slogan itu diangkat. Tapi, saya berani bilang di hadapan mereka (oh ya, unit gitar itu bernama Silhouette), bahwa, "Yang penting, adalah alasan kamu disini, semangat serta kerja kerasnya. Permainan? Itu adalah poin tambahan."



Maka, ketahuilah, wahai anak-anak Silhouette, bahwa saya tidak melakukan ini semua dalam rangka menyebarkan virus musik klasik seolah-olah saya ini antek-antek Barat kafir seperti yang FPI dengungkan. Sederhana saja alasannya: Bahwa saya ini telah banyak dibukakan jalur-jalur tempat saya berpijak di bumi ini, oleh musik klasik. Dan ini salah satu cara untuk membalas budi atas segala kebaikan yang musik klasik sudah berikan bagi saya.

Comments

  1. Bung, dah keliling berbagi ilmu rupanya. hehe.. Oia, blog gw pindah rumah. SIlahkan mampir yak!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...