Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Suatu hari Senin, dimana saya dan kawan-kawan bermain bulutangkis setiap jam empat sore, lapangan kedatangan dua orang filsuf terbesar dalam sejarah peradaban Barat. Plato dan Aristoteles. Ya, mereka datang, dan duduk di pinggir lapangan, menyaksikan kami bermain. Sambil bermain, saya mencuri dengar apa yang mereka perbincangkan. Sebetulnya, saya tidak mencuri dengar, karena mereka berbicara sangat keras. Entah dalam bahasa Yunani atau apa, yang pasti, saya memahaminya. Itulah mengapa saya tuliskan disini.
Plato : Wahai muridku, pernahkah engkau berpikir, mengapa orang Brasil nyaris semua penduduknya mahir bermain sepakbola?
Aristoteles: Tentu saja, karena berlatih, Guru.
Plato : Lantas, kau bisa menjawab, mengapa mereka memenangkan Piala Dunia paling banyak? Padahal banyak negara-negara di Eropa, yang juga berlatih keras -mungkin lebih keras-, tapi mereka tetap tidak sekuat Brasil.
Aristoteles : Ini jelas, sebuah proses alam. Tidak ada yang kebetulan. Pasti Brasil punya "sebab formal" mengapa mereka memenangkan Piala Dunia paling banyak. Entah karena pelatih yang baik, taktik yang bagus, atau lawan yang sedang sakit perut, atau penyerang Brasil yang orangtuanya sedang disandera, sehingga ia sangat bersemangat. Pasti ada sesuatu yang mendasarinya, guru. Yang nyata, yang indrawi.
Plato : Apakah kau setuju jika kubilang, mereka semua memang telah hebat bermain sepakbola ketika mereka sudah berada di dunia ide? Di alam jiwa sana? Sehingga ketika mereka menempati tubuhnya, maka itu tak lain dari cerminan apa yang sudah terjadi di dunia ide.
Aristoteles : Guru, dengan segala hormat, aku mempertanyakan padamu, bagaimana kau tahu dunia ide itu ada atau tidak? Bagaimana jika guru ternyata hanya melihat kehebatan sepakbola Brasil, kenyataan mereka berprestasi sepanjang jaman, dan seolah tidak ada yang menandingi, lantas guru seolah menyimpulkan, bahwa Indonesia ini tidak mungkin menjadi juara sepakbola, karena mereka tak pernah hebat di dunia ide? Bagaimana guru tahu itu?
Plato : Bagaimana aku tahu? Semua orang tahu itu! Hahaha.
Aristoteles : Hahaha. Aku serius, Guru.
Plato : Tentu saja dalam dunia ide, segalanya kekal dan ideal. Ketika kita berbicara anak-anak yang sedang bermain bulutangkis ini. Mereka sedang mengingat. Jiwanya mengalami eros, rasa cinta yang membuat mereka mengingat kembali apa-apa yang telah diajarkan di dunia ide, yakni tempat sang jiwa pernah bersemayam. Mereka, anak-anak ini, tidak sedang belajar bermain bulutangkis, tapi jiwanya sedang mengalami kerinduan, bagaimana bermain bulutangkis itu.
Aristoteles : Katakan poinmu, Guru.
Plato : Pernahkah berpikir, mengapa orang Brasil begitu mudahnya menyepak dan memainkan bola di kaki, sama halnya dengan orang Indonesia begitu lihainya memainkan shuttle cock dengan raketnya? Pernahkah berpikir, mengapa Thales mesti lahir di Miletos untuk mempersoalkan alam ini berasal dari mana? Sedangkan nun jauh di Cina sana, Konfusius lahir untuk pertama-tama memaparkan bagaimana memperbaiki negara? Pernahkah, wahai muridku?
Aristoteles : Kau tahu jawabanku, Guru. Ini soal proses alamiah, pasti ada sebab formal mengapa itu terjadi. Dan jangan lupakan juga "sebab terakhir". Seperti hujan turun agar tanaman bisa tumbuh. Tugas kehidupan. Pasti ada sebab mengapa Brasil yang menjuarai Piala Dunia, dan bukan Indonesia. Entah apakah karena Brasil negaranya miskin, sehingga martabatnya bisa lebih terangkat dengan sepakbola.
Plato : Itu sebabnya, kita selalu berselisih paham, muridku. Karena bagiku, dunia ide tetap kekal dan abadi. Ia memuat segala pengetahuan tentang sepakbola dan bulutangkis pastinya. Namun, eros atau rasa cinta masing-masing jiwa berbeda, ternyata. Bagiku, jiwa masyarakat Brasil lebih merindukan sepakbola, sedangkan jiwa masyarakat Indonesia lebih merindukan bulutangkis. Itu sebabnya, orang Indonesia, tak sulit untuk pandai bermain bulutangkis. Setidaknya begitulah bagiku.
Aristoteles: Baiklah, Guru. Kau tahu aku tak sependapat.
Plato : Oke, kita mau nonton saja pertandingan ini, atau jalan-jalan?
Aristoteles : Kita jalan-jalan habis set ini, Guru. Posisi sedang deuce. Seru.
nice pak moderator!
ReplyDeletekocak namun penuh pelajaran berarti...
hihihhi...