Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Bahasa, jika dilihat dari permukaan, hanyalah rangkaian bunyi yang keluar dari pita suara. Ia bisa diurai secara teknis: getaran udara, fonem yang diatur dalam sintaks, lalu dirangkai menjadi kalimat. Di atas kertas, bahasa tampak seperti alfabet yang disusun rapi, sebuah kode yang bisa dibaca dan diterjemahkan. Tetapi siapa yang bisa menyangkal bahwa bahasa jauh melampaui sekadar bunyi dan huruf? Melalui bahasa, aku bisa merawat relasi—mengatakan "aku mencintaimu" yang menumbuhkan rasa hangat dalam dada orang lain. Dengan bahasa pula aku bisa menghancurkan relasi, cukup dengan sebuah kalimat pedas, sebuah fitnah, atau sebuah diam yang disengaja. Bahasa bisa menjadi obat: menenangkan yang resah, menuntun yang hilang arah. Tapi bahasa juga bisa menjadi racun: menusuk yang rapuh, meninggalkan luka yang terus berdarah meski tak terlihat. Bahasa bukan hanya medium komunikasi, melainkan medium kekuasaan. Lewat bahasa, aku bisa memerintah dan diperintah. Lewat bahasa, orang-orang...