Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2025

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Bahasa

Bahasa, jika dilihat dari permukaan, hanyalah rangkaian bunyi yang keluar dari pita suara. Ia bisa diurai secara teknis: getaran udara, fonem yang diatur dalam sintaks, lalu dirangkai menjadi kalimat. Di atas kertas, bahasa tampak seperti alfabet yang disusun rapi, sebuah kode yang bisa dibaca dan diterjemahkan. Tetapi siapa yang bisa menyangkal bahwa bahasa jauh melampaui sekadar bunyi dan huruf?  Melalui bahasa, aku bisa merawat relasi—mengatakan "aku mencintaimu" yang menumbuhkan rasa hangat dalam dada orang lain. Dengan bahasa pula aku bisa menghancurkan relasi, cukup dengan sebuah kalimat pedas, sebuah fitnah, atau sebuah diam yang disengaja. Bahasa bisa menjadi obat: menenangkan yang resah, menuntun yang hilang arah. Tapi bahasa juga bisa menjadi racun: menusuk yang rapuh, meninggalkan luka yang terus berdarah meski tak terlihat.  Bahasa bukan hanya medium komunikasi, melainkan medium kekuasaan. Lewat bahasa, aku bisa memerintah dan diperintah. Lewat bahasa, orang-orang...

Tubuh yang Menua

Menjelang usia empat puluh, tubuh mulai memberi tanda-tanda kecil yang tak bisa lagi diabaikan. Stamina tak lagi sama seperti dulu: langkah terasa lebih berat, tidur yang dulu cukup empat jam kini tak lagi memadai, dan sakit-sakit kecil yang dulu hanya datang sesekali kini mulai menjadi pengunjung tetap. Rasa letih kadang datang bahkan sebelum pekerjaan benar-benar dimulai. Gairah untuk mengejar segala hal juga sudah tidak setajam masa dua puluhan; ada semacam jarak yang terbentuk, antara keinginan yang berlimpah dengan kemampuan tubuh yang kian terbatas.  Pada titik ini, kita mulai belajar tentang melepaskan. Melepaskan hal-hal yang tak bisa lagi dipaksakan. Melepaskan mimpi-mimpi yang dulu mungkin terlampau besar, tetapi kini harus disesuaikan dengan kenyataan. Melepaskan gengsi, ambisi, bahkan beberapa orang yang tidak lagi sejalan. Proses menua, dengan demikian, adalah proses perelahan: ikhlas satu demi satu, seperti daun yang jatuh dari pohon, tanpa penyesalan, hanya mengikuti...

Cemburu

Partner saya hampir tidak pernah menunjukkan rasa cemburu. Aneh memang, kadang hal itu terasa menyenangkan, tapi di sisi lain juga sedikit mengesalkan. Saya jadi berpikir ulang: sebenarnya apa dasar dari perasaan cemburu? Menurut saya, cemburu pada dasarnya lahir dari pengalaman diperlakukan tidak adil. Selama seseorang merasa dirinya diperlakukan secara adil, rasa cemburu seharusnya tidak muncul. Masalahnya, standar “adil” itu tidak pernah universal. Ada kalanya adil berarti perhatian yang dibagi rata, ada kalanya adil berarti eksklusivitas penuh, ada juga yang menoleransi berbagai ruang kebebasan selama kebutuhan dasar emosinya terpenuhi.  Partner saya, misalnya, tidak akan merasa cemburu hanya karena saya ngobrol atau bertemu dengan orang lain. Tetapi situasi berubah ketika perhatian saya mulai condong secara signifikan ke luar—misalnya saya memberi banyak waktu, energi, bahkan sampai memberi hadiah pada orang lain. Hal itu berimplikasi pada berkurangnya perhatian saya kepada di...

Psikiatri

Beberapa bulan terakhir, saya mulai berobat ke psikiater. Alasannya sederhana, tapi cukup mengganggu: tidur saya tidak lagi normal. Dalam semalam, saya hanya bisa terpejam dua atau tiga jam, dan selebihnya hanyalah rebahan dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana. Kondisi itu perlahan menggerogoti stamina, membuat tubuh rapuh, dan emosi menjadi semakin tidak stabil.  Saya akhirnya memeriksakan diri ke psikiater di RS Imanuel. Setelah beberapa kali sesi, kesimpulannya adalah saya mengalami depresi, meskipun tidak sampai pada tahap akut. Dokter memberi saya obat, dan perlahan tidur saya mulai lebih teratur. Selain itu, saya juga memiliki kecenderungan gangguan kecemasan dan emosi yang meledak-ledak. Obat-obatan itu, yang sebelumnya saya pandang dengan was-was, ternyata benar-benar membantu saya lebih kalem, menurunkan intensitas badai kecil di kepala saya.  Dari pengalaman itu, saya mulai merenungkan sesuatu. Apa yang sering disebut sebagai “gejolak estetis” atau “inspirasi fi...