Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kampung Halaman


Hari Minggu, minggu yang lalu, saya diajak orang tua untuk berkunjung ke Garut. Tempat tersebut tepatnya adalah kampung halaman bapak, yang sependek pengetahuan saya, jarang sekali dikunjungi. Tentu saja, kesok-sibuk-an urban istri dan saya membuat kunjungan semacam ini, terlebih di hari Minggu, terasa amat berat. Dalam kehidupan perkotaan yang segala-galanya mesti serba berguna, mengunjungi sebuah tempat dengan dalih romantisme kadang terdengar membuang-buang waktu. Namun setelah direnung-renungkan, terutama mengingat usia bapak sekarang sudah kepala tujuh, ajakan-ajakan semacam itu, bagi saya, tidak boleh disikapi dengan egois. Saya harus memikirkan juga dari sudut pandang bapak, yang di usia lansianya mungkin tiada lagi hal yang ingin dilakukan kecuali mengenang dan mengenang. Alhasil, kami pun memutuskan ikut berangkat ke Garut, menanggalkan segala pekerjaan yang seringkali masih harus digarap di hari Minggu. 

Bandung - Garut jaraknya tidak jauh. Bahkan lebih dekat dari yang saya bayangkan. Tidak sampai dua jam, kami sudah sampai di lokasi setelah melewati pemandangan mooi indie yang biasanya hanya bisa dilihat di gambar-gambar waktu SD. Iya, dua gunung yang dibelah jalanan, yang di samping-sampingnya ada sawah-sawah dengan latar belakang langit biru dan awan bergulung-gulung. Karena itu kampung halaman bapak, tentu secara tidak langsung itu juga kampung halaman saya. Meski mungkin saya menghubung-hubungkannya dengan cara yang romantis, dengan bayangan bahwa saya "dilahirkan di desa" seperti kisah masa kecil Soeharto. Kenyataannya, saya lahir dan besar di Bandung, dengan lingkungan yang telah terbuat dari beton, dengan pemandangan pegunungan indah permai yang hanya diketahui dari gambar-gambar anak SD. Garut bukanlah kampung halaman saya yang nyata, tetapi saya perlu mengidentifikasi sebagai "orang Garut", supaya ke-Sunda-an saya sah - karena "orang Bandung" belum tentu menggambarkan keabsahan sebagai orang Sunda. 

Apa yang saya temukan di Garut, tepatnya di wilayah Leles tersebut? Kita tidak perlu membicarakan pemandangan dan pemandangan lagi. Sekarang mari kita bicarakan manusia. Orang-orang Garut yang saya temui, umumnya adalah mereka kerabat bapak yang sudah sepuh-sepuh. Mereka saling menanyakan kabar, bercerita tentang si ini dan si itu, menunjukkan kalau anak ini yang tadinya kecil sekarang sudah besar, kerja di mana. Beberapa dari anak muda atau remaja bermain dengan ayam-ayam atau mengambil mangga dari pohon. Hal yang berbeda dari apa yang umumnya saya temui di perkotaan adalah cara mereka bergerak yang lebih santai. Tidak ada ketergesaan, harus membatasi pertemuan berapa lama karena "ada meeting lagi", atau bertanya "ada perlu apa" seolah-olah segala kunjungan mestilah bernilai praktis (yang terhubung dengan materi). 

Konsep waktu yang "mendesak" tentu ada juga di desa-desa, dalam artian usia berapa harus sekolah, usia berapa harus dapat kerja, usia berapa harus menikah, usia berapa harus punya anak, dan sebagainya. Bahkan hal-hal demikian dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah "kodrati" dan kegagalan seseorang dalam menepati ukuran-ukuran waktu tersebut akan menjadi gunjingan atau cibiran. Umumnya orang-orang di kota, karena paradigma individualisnya, yang menganggap segala sesuatu diukur oleh kehendak dirinya sendiri, melihat konsep pencapaian sebagai sesuatu yang bisa didekonstruksi waktu-waktunya (tidak perlu menikah di usia sekian, tidak perlu lulus di usia sekian). Namun tetap: orang kota selalu tertekan oleh pencapaian, meski jalur yang dilaluinya dapat beraneka ragam. Seberapa pun mereka berusaha santai, mereka tahu bahwa lingkungan urban selalu menekannya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang pencapaian material. 

Umumnya orang-orang di desa, sekali lagi, juga punya keharusan untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak melulu material. Hal-hal seperti sekolah, menikah, bekerja, mungkin bukan sekat-sekat waktu yang cuma sekadar tentang uang, tapi tentang sesuatu yang membuat kita mesti kembali pada pandangan bahwa hidup ya memang "begitu-begitu saja". Kalaupun terdapat uang yang dicari di dalamnya, uang itu hanyalah suatu prasyarat untuk mewujudkan seremoni-seremoni yang membawa kita pada renungan tentang hidup yang sebagaimana adanya, bukan dalam bentuk jargon-jargon bombastis sebagaimana dikumandangkan oleh orang-orang kota. Bahwa hidup manusia di usia sekian sudah "kodrat"-nya untuk sekolah, menikah, bekerja, yang entah berdasarkan apa, mungkin faktor psikologis, "kematangan jiwa", atau mungkin juga "formula yang sudah berhasil turun temurun". 

Memang ada kesan orang-orang di desa ini tidak ingin maju, atau fetish dengan kestagnanan hidup yang "begitu-begitu saja". Namun bisa jadi mereka punya visi yang sudah tercium jauh sebelum orang-orang kota sibuk dengan pencapaian ini itu: bahwa hidup pada akhirnya juga akan "begitu-begitu saja". Meski dalam varian yang seolah-olah begitu beragam, umumnya orang kota juga, pada titik tertentu, percaya bahwa sekat-sekat waktu itu penting, hanya saja disikapinya kurang santai, seperti tidak menyandarkan proses-prosesnya pada "kodrat", melainkan pada "keinginan pribadi". 

Namun bisa jadi saya keliru tentang orang-orang desa itu. Saya hanya sedang merenungkan bahwa orang-orang dalam kondisi "alamiah"-nya, lebih dekat pada pandangan Rousseau (yang percaya orang-orang dalam kondisi "alamiah"-nya lebih murni dan bening) ketimbang Hobbes (yang percaya orang-orang dalam kondisi "alamiah"-nya saling tikam satu sama lain).

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...