Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Tawaran untuk menjadi pimpinan produksi Harpa Nusantara itu saya ingat sekali, tanggal 1 Maret 2019. Waktu itu Sisca dan suami datang ke restoran Truno 58, karena saya sedang ada tampil di sana. Sisca bertanya apakah kira-kira yang bisa dilakukan untuk konsernya? Karena dia kurang sreg dengan konsep konser yang megah dan melibatkan banyak artis (komersil) - seperti yang katanya sudah dibicarakan dengan beberapa temannya -.
Inilah yang membuat saya senang mendengarnya. Sisca, si pemain guzheng dan harpa yang nyaris lekat dengan dunia "weddingan" tersebut, ternyata sedang mencari bentuk pertunjukan yang kiranya lebih relevan dengan renungan dan pencariannya. Saya bisa membayangkan apa yang ada di benaknya: Tidakkah harus ada hal yang lebih agung, yang mesti dicapai lewat seni, yang tentunya sekaligus lebih ugahari daripada panggung nikahan ke nikahan? Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat pada panggung nikahan, tapi seni, bagaimanapun, punya fungsi-fungsi lain yang tak kalah sakral, spiritual, dan bersifat katarsis.
Sebenarnya Sisca, dan suaminya, Pak Sugih, adalah duet yang sangat rinci dalam mengurusi banyak hal. Artinya, saya tidak bisa dikatakan mengorganisasi seluruh produksi karena mereka pun begitu aktif dalam bergerak mengatasi satu demi satu persoalan (yang sangat banyak). Namun persiapan hampir enam bulan ini - mungkin bagi Sisca satu tahun karena juga terkait pembuatan empat harpanya yang lumayan rumit - adalah persiapan yang lebih dari sekadar produksi. Obrolan kami nyaris tiap hari via WA, adalah juga tentang bagaimana membuat kami sendiri yakin, bahwa Harpa Nusantara adalah konser yang penting, brilian, dan punya nilai lebih di kemudian hari. Jadi obrolan kami tidak seperti dua orang yang berbisnis: hanya tegur sapa bicara pembayaran dan ceklis persiapan, tapi juga masuk pada wilayah kultural dan filosofis. Mungkin saja, tanpa bermaksud ge-er, dan tentu saja tanpa mengabaikan keajaiban musik Iman Ulle dan tata artistik dahsyat dari Aji Sangiaji, konser Harpa Nusantara tadi malam begitu terasa sekali sebagaimana pepatah bersahaja mengatakan: "Apa yang dari hati, akan sampai juga ke hati".
Konser Harpa Nusantara berakhir. Kelihatannya apa yang kami cita-citakan sejak semula, tidak jauh berbeda dengan kenyataannya. Tentu saja, ada kekurangan sana sini, itu pasti, karena harus jujur dikata, persiapan Harpa Nusantara secara teknis begitu rumit dan berdarah. Namun setelah tirai pertunjukan ditutup dan penonton melakukan "standing applause", kami sadari sesuatu, tentang bagaimana seni dapat mengubah hidup manusia: rasa haru yang timbul dari merasakan suatu keindahan, akan berdenyut senantiasa, dan memanggil-manggil, ketika kita, siapapun itu, berhadapan dengan hal-hal yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Di situlah letak seni yang menyucikan.
Selamat untuk Sisca Guzheng Harp, jangan kapok!
Kredit foto: Agus Bebeng
Comments
Post a Comment