Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Sederhana

 

"Before a man studies Zen, to him mountains are mountains and waters are waters;
after he gets an insight into the truth of Zen through the instruction of a good master, mountains to him are not mountains and waters are not waters;
but after this when he really attains to the abode of rest, mountains are once more mountains and waters are waters."

Untaian kalimat di atas adalah koan Zen yang cukup terkenal. Sebelum dibahas, saya mengingatkan diri pada novel yang dibaca sekitar dua atau tiga tahun lalu, sebuah mahakarya dari Ernest Hemingway berjudul The Old Man and The Sea (1952). Novel tidak terlalu tebal itu ceritanya sangat sederhana, tentang nelayan tua bernama Santiago yang pergi melaut setelah 84 hari tanpa menangkap ikan satu pun. Di hari ke-85, ia berhasil menangkap dua ikan marlin besar yang sekaligus juga menarik perhatian hiu-hiu untuk ikut bersantap. Santiago berjuang, bertarung melawan si hiu demi mempertahankan tangkapannya. Ceritanya begitu saja.

Yang jadi pertanyaan saya, tidakkah novelnya terlalu simpel untuk sebuah mahakarya yang dikerjakan di masa tua Hemingway? Sebagai informasi, The Old Man and The Sea adalah karya pamungkas Hemingway sebelum ia wafat tahun 1961. Hemingway sendiri bahkan tidak punya keinginan menjadikan novel ini penuh simbol atau menyiratkan makna tertentu:

"There isn't any symbolism. The sea is the sea. The old man is an old man. The boy is a boy and the fish is a fish. The shark are all sharks no better and no worse. All the symbolism that people say is shit. What goes beyond is what you see beyond when you know."

Artinya, pada masa tuanya Hemingway memilih tema-tema sederhana, gaya penceritaan sederhana, dan tidak perlu berusaha tampil njelimet dengan sisipan-sisipan penuh makna. Gaya yang bertolak belakang dengan setidaknya satu novel legendarisnya, For Whom The Bell Tolls yang dibuat sebelas tahun sebelum The Old Man and The Sea.

Hemingway hanya salah satunya. Banyak filsuf yang seringkali "merevisi" pemikirannya di masa tua dengan lebih sederhana. Ludwig Wittgenstein misalnya, ia menulis dua buku terkenal, yang pertama Tractatus Logico Philosophicus dan yang kedua Philosophical Investigations. Lucunya, buku kedua terang-terangan menyebutkan bahwa buku pertama yang ia tulis banyak kekeliruan. Filsuf analisis bahasa ini di buku pertama menyatakan teori gambar yaitu "Ada fakta, ada nama. Ada nama, ada fakta". Artinya, segala sesuatu yang di luar fakta, itu omong kosong. Seperti misalnya, "Dosa", "Tuhan", "Malaikat", dsb adalah entitas yang tidak ada faktanya sehingga kata-kata itu tidak punya makna. Di buku kedua ia meralat, bahwa gak gitu-gitu amat, bahasa itu juga hanya permainan. Ia bermakna dalam konteksnya, seperti permainan catur dimana sebutan "raja" bukanlah raja dalam arti sebenarnya, tapi raja yang disepakati dalam permainan. Cukup simpel, bukan?

"Ralat" semacam ini banyak terjadi. Maka itu ahli sejarah kerap membagi pemikiran mereka dalam dua periode besar, seperti Sartre muda dan Sartre tua, Marx muda dan Marx tua, Beethoven muda dan Beethoven tua, dst. Pada fase kehidupan tertentu, ada cara pandang dari mereka-mereka ini layaknya koan yang disebutkan di awal: Kembali melihat gunung sebagaimana gunung dan laut sebagaimana laut sebelum mereka tercerahkan.

Namun jika demikian, apakah berarti percuma melakukan pencerahan kalau ujung-ujungnya balik ke awal? Tentu saja tidak, kata Bambang Sugiharto, "Jika kita mendengarkan kalimat 'Tuhan itu ada' dari mulut Freud, akan sangat berbeda 'ketebalannya' dengan kalimat yang sama keluar dari mulut orang-orang yang tidak pernah mencari."

Jangan-jangan perjalanan seseorang yang paling panjang justru berakhir di rumahnya sendiri. Contoh terbaik tentang ini tentu saja bapak saya sendiri. Saya ingat beliau di masa mudanya yang apruk-aprukan keliling dunia berkarya dan berkarya. Belakangan, di masa tuanya, permintaan dia menjadi sederhana: Ayo besarkan garasi rumah kita. Suatu hari saya berdiskusi dengannya, tentang mengapa kok kelihatannya bapak begitu naif dan simpel dalam berpikir. Alih-alih membuka galeri, sekarang malah memperbaiki garasi. Jawabnya, "Yang sulit dalam hidup adalah bertindak sederhana. Selalu ada godaan bagi manusia untuk tidak jadi sederhana."

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...