Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Tuan Marx dan Tuan Engels,
Kalian tentu ingat sebaris kalimat pamungkas dalam manifesto: "Kaum buruh sedunia, bersatulah!" Saya yakin tuan-tuan menuliskannya dengan hati yang jernih dan pandangan dunia yang luas lagi mulia. Di sekeliling, kalian melihat para buruh yang tak merdeka dan mengeluh sakit tapi tiada obatnya. Yang ada cuma painkiller berbentuk kerja dan kerja. Para borjuis menjauhkan pekerja dari kemanusiaan. Ada hubungan keluarga dan pertemanan diantara sesama proletar, tapi hanya sebatas kedekatan biologis, genetika, dan status sosial semata. Tiada satupun dari mereka yang punya cukup waktu luang untuk bercengkrama, bercandatawa, dan curhat menggali kedalam tentang jatidirinya.
Kaum buruh sedunia, bersatulah.
Saya baru tahu wajahmu setelah melihatnya di restoran bernama Foodism. Mereka memajang jenggotmu tanpa tahu malu. Seorang panglima sejati di medan pertempuran kelas sosial, mesti mengakhiri hidupnya di etalase. Dilihat orang dengan tertawa sambil bersendawa. Sedangkan gerombolan pramusaji tak ada ubahnya dengan proletar yang dihantui ketidakmungkinan untuk menjadi borjuis. Mereka abadi berkubang dalam genangan, menjadi tempat kapital menginjakkan kakinya.
Tuan Marx dan Tuan Engels,
Hari ini kapitalisme adalah gurita raksasa. Ia tidak cuma mencengkeram kami semua dengan tentakel, tapi juga mengotori dengan tahinya. Saya kemana-mana menenteng manifesto dan meneriakkan kesejahteraan kaum buruh. Tapi apa daya kemana-mana juga saya mesti pakai Piccanto, mobil baru keluaran Korea yang mesti dibeli dengan cicilan bank yang berbunga-bunga.
Saya, kami, tidak berdaya. Cuma bisa tertawa-tawa melihat pegawai kantor makan siang di restoran sambil membawa bantal. Hanya bisa mengelus dada melihat guru sekolah musik mengisi jam-jam kontemplasinya dengan uang yang dihantarkan oleh para siswa dengan dalih ingin belajar musik. Cuma bisa tersenyum kecut pada para akademisi yang duduk nyaman di singgasana menara gading membicarakan Marxisme tanpa tahu bagaimana membongkar ketidakadilan.
Kita semua kalah. Gurita raksasa nyaris mustahil digulingkan. Tapi renungan kalian akan terus hidup di dada kami-kami yang kerap tidak punya kekuatan. Bahwa segala ketidakadilan sesungguhnya mesti dilawan. Manusia yang diam dalam kesewenang-wenangan adalah budak nafsu kaum borjuis yang tak punya jatidiri pun hatinurani.
Diktator proletariat tidak akan pernah berdiri. Namun setidaknya para pemilik modal, dimanapun mereka duduk: Singgasananya tiada akan pernah tegap menyangga. Kami selalu menggoyangnya agar tak ada satupun yang terlelap.
Sumber gambar: http://thriven.wordpress.com/2010/12/11/marx-and-engels quotations/ dan http://hdw.eweb4.com/out/94046.html
Dinantikan kelanjutan dari perenungannya! ;)
ReplyDelete