Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Di tahun 2010 kemarin, saya berkesempatan mengunjungi dua tempat yang bagi saya sama-sama besar. Bulan Maret, saya diajak untuk turut serta orangtua umrah ke Tanah Suci. Berjumpa Ka'bah yang berada di dalam Masjidil Haram, ratusan ribu bahkan jutaan manusia yang terpusat ke sana selama nyaris dua puluh empat jam setiap hari mustahil tak membuat hati tergetar. Terasa sekali luapan spiritual yang besar dan meledak-ledak. Muslim manapun yang menjejakkan kakinya di Tanah Suci nyaris sulit untuk menolak nilai-nilai religius maupun spiritual. Karena suasananya sangatlah mendukung. Fascinatum et Tremendum.
Tempat kedua adalah di bulan Desember, yakni Gelora Bung Karno. Secara luas bangunan dan jumlah massa yang datang, sepertinya tidak sebesar Masjidil Haram. Saya kesana untuk membeli tiket final Piala AFF. Mengantri sejak tengah malam, saya tetap gagal mendapatkannya di pagi hari dan antrian massal itu sendiri berujung kerusuhan dan pengrusakan.
Yang menarik adalah sesungguhnya keduanya bagi saya punya persamaan dari segi perasaan. Setelah mengalami pengalaman religius di bulan Maret, bulan Desember pun sesungguhnya memberi saya perasaan yang mirip-mirip. Bahwa dalam kondisi emosi massa yang meluap-luap, kita mau tidak mau akan ikut terbawa arus. Dalam insting kolektif, manusia akan kehilangan identitas personal maupun kekhasannya sebagai individu. Di Masjidil Haram, saya yang biasa shalat bolong-bolong menjadi rajin dan khusyu. Di Gelora Bung Karno, saya yang sering mencemooh suporter yang rusuh malah menjadi ikut-ikutan rusuh. Keduanya identik dan tidak bisa serta merta menempatkan sepakbola pada posisi yang inferior dibanding agama. Sepakbola, bagi strata masyarakat tertentu atau bahkan bagi rakyat yang kehilangan jatidiri, adalah "agama" yang patut dibela. Tidak sedikit yang datang jauh-jauh dari Jawa Timur maupun Papua, ikut berdesak-desakan dan "berjihad" untuk tontonan sembilan puluh menit bola digulingkan kesana-sini.
Kemudian ada filsafat. "Makhluk" yang satu ini kerap dituduh bertentangan dengan agama. Tapi sesungguhnya ia berperan untuk melakukan distansiasi alias pengambilan jarak. Filsafat merupakan satu cara bagi manusia untuk bertindak atas nama akal pikirannya sendiri. Ini sangat dibutuhkan ketika individu lebur dalam lautan massa yang menelan keunikan persona. Filsafat mengajak keluar dari kerumunan dan mempertanyakan apa yang sesungguhnya kita lakukan tanpa terpengaruh emosi-provokatif. Ia menggiring untuk berpikir jernih, ketika rombongan manusia ikut mengelilingi kubus hitam kosong, kita diajak bertanya, "Betulkah Tuhan di dalam sana?" Ia menggiring untuk berpikir jernih, ketika stadion dirusak dan kursi-kursi dilemparkan sebagai bentuk amarah, kita diajak bertanya, "Siapa musuh kita sesungguhnya?"
Ketiadaan pola pikir filosofi inilah yang kemudian menjadikan banyak makhluk yang pulang dari Tanah Suci tidak lebih dari sekumpulan manusia yang terombang-ambing. Ia taat ketika arus religiusitas melanda. Lalu ia jadi laknat ketika di Tanah Air, bersama kawan-kawannya, ia ikut arus korupsi. Ia tidak menjadikan renungan dari Jalaluddin Rumi ini sebagai distansiasi yang menyegarkan kalbunya:
Aku pergi ke Ka’bah di Mekkah.
Dia tidak ada di sana.
Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosuf
Dia ada di luar jangkauan Avicenna
Aku melihat ke dalam hatiku sendiri.
Di situlah, tempatnya, aku melihat dirinya.
Dia tidak di tempat lain.
Comments
Post a Comment